Laman

Selasa, 18 November 2014

Pertanyaan Misterius Pascapendakian

Oleh : Irkham Zamzuri

   Tidak biasanya lalu lintas kendaraan di jalan raya Karanganom-Polanharjo begitu padat. Segerombolan pemotor yang melaju pelan menguasai separuh badan jalan. Sehingga ‘teriakan’ knalpot blombongan tak ramah lingkungan memekakkan pendengaran. Warga yang kebetulan melintas memilih menepikan kendaraannya, untuk menghindari ketidaknyamanan. Hal tersebut ternyata menyita perhatian beberapa pemuda yang sedang berkumpul di sanggar pramuka seberang jalan. Merasa terganggu berbagai cacian pun dilontarkan,   

“Gondes! Bikin tambah panas keadaan,” ucap Gunawan dengan nada kesal. Hawa di siang itu seolah bertambah ‘resah’ ketika puluhan motor meraung-raung tak karuan. Adri menimpali, “Dasar manusia-manusia tak punya kerjaan, siang bolong memancing kegaduhan!” Bertolak belakang dengan apa yang dirasakan Gunawan dan Adri, sekumpulan anak-anak kecil justru menganggap hal tersebut layaknya hiburan. “tet ... tet ... tet ... engenggg ... engenggg ... tet ... tet ... tet ...  engenggg ... enggengg ...,” dengan raut wajah berbinar, tak sungkan mereka lantang melagukan.


Suasana di dalam sanggar pramuka Kwaran Karanganom berangsur senggang, roman-roman ketegangan telah menghilang. Setelah melangsungkan rapat pengurus Dewan Kerja Ranting, obrolan masih terus berlangsung, selalu ada bahan untuk diperbincangkan.  Tiba-tiba seorang kawan bertanya kepada saya,

“Kamu kemarin kenapa?” ucap zaenal.
“Kenapa, kenapa emangnya?” jawabku sedikit bingung.
“Kemarin waktu naik gunung?” paparnya singkat.
“Maksudnya?” sahutku serius penuh selidik.
“Punya masalah apa pas naik kemarin?” tanya zaenal semakin jelas. Saya yang sedari awal belum paham dengan pertanyaannya, berpikir keras untuk menafsirkan sendiri.
“Masalah naik gunung?” , “Gunung Merbabu?”, “masalah?”,
“masalah?”, “masalah apa ya?”, batin saya tak pasti. Perasaan mulai tidak nyaman ketika pertanyaan yang maksudnya belum saya pahami itu mulai bersemayam di kepala. Memaksa otak untuk segera memecahkan ‘misteri’ yang seketika itu pula langsung menghantui. Ditambah lagi Zaenal merupakan rekan pengurus paling senior.
“Kok sampai bisa ada masalah?” lanjutnya terus mengejar agar pertanyaan segera ada tanggapan.
 “Siapa, siapa yang ada masalah?” potongku dengan cepat, serius tanpa basa-basi lagi.
“Kemarin yang mendaki Gunung Merbabu cuma kami bertiga (saya, fia dan yassinta) berarti satu diantara dua teman saya itu ada yang punya masalah saat naik Gunung Merbabu. Tapi kalau iya, kok fia dan yassinta tidak ada yang cerita?” pikir saya penuh terka.
“Yas ... !!! Fi ... !!!,” panggil saya dengan tatapan mata tajam penuh keingintahuan.
“Apa yang sebenarnya terjadi,” tanyaku khusyuk kepada mereka berdua yang sedari awal juga mendengarkan. Satu hal dasar yang yang membuat saya bingung, bagaimana Zaenal bisa punya pertanyaan seperti itu, padahal dia tidak ikut mendaki kemarin, bahkan saya yang bersama mereka tidak merasa ada apa-apa.

***
Mari berimajinasi terlebih dahulu, kalau di dalam kehidupan nyata kita tak bisa memutar balik waktu, dengan tulisan kita bisa menjadi mesin waktu. Mau dimajukan seratus tahun ke depan atau mundur lima tahun ke belakang mudah dilakukan. Sekarang, waktu kita putar seminggu ke belakang.  

Siang itu, senin, 31 Desember 2012 cuaca di Desa Selo tidak begitu mendukung, langit tampak murung, gelap, pucat, karena mendung tebal menggantung. Rintik hujan mengiringi kedatangan kami di basecamp pendakian, kabut tebal menutupi pemandangan alam sekitar. Dengan baju yang sedikit basah, segera kami masuk dan membersihkan diri di rumah Pak Bari. Pak Bari adalah salah satu dari dua penjaga basecamp yang ada di Gunung Merbabu via Selo.

“Selamat siang. Apa kabar pak?” tanya saya kepada Pak Bari saat melakukan pendaftaran.
“Alhamdulillah mas sehat. Orang berapa mas?” jawabnya.
“3 orang pak,” jawab saya.
“Silahkan mengisi daftar nama di buku tamu mas, beserta kontak yang bisa di hubungi,” pintanya ramah sembari menyerahkan karcis masuk pengunjung.
“Siap! Terima kasih pak,” jawab saya.

Ratusan pendaki dari berbagai daerah sudah memadati rumah Pak Bari yang sengaja dijadikan basecamp pendakian. Rumah sederhananya didesain khusus dengan ukuran ruang tamu sangat luas untuk transit para pendaki. Sebagian besar dari mereka hampir bisa dipastikan punya rencana yang sama dengan kami, yaitu merayakan pergantian tahun di puncak gunung.

Mendaki gunung di musim penghujan bukanlah hal baru buat saya, beberapa pendakian ditemani cuaca tak menentu pernah dilakukan. Hal tersebut memberikan pembelajaran terkait persiapan yang harus lebih dimatangkan. Tapi pendakian ini berbeda, Fia dan Yassinta yang menjadi partner saya adalah dua orang yang benar-benar pemula. Buat Fia ini baru pendakian kedua setelah merapi sebulan sebelumnya, untuk Yassinta merbabu akan jadi yang pertama.
“Siap kan juk?” tanyaku ke Yassinta, juk atau jujuk adalah sapaan akrabnya. Kami bertiga sudah kumpul saling mendekat guna briefing sebelum berdoa.
“Harus siap pak kham. Setelah kemarin ngerayu mama mati-matian,” jawabnya sembari tersenyum riang. Seiring dengan berhentinya rintik hujan, kami putuskan segera memulai pendakian di siang itu.

Jalur pendakian sedikit licin akibat guyuran hujan semalam, kondisi tanah yang lembek serta kabut tebal menemani langkah awal pendakian. Diperlukan konsentrasi dan kewaspadaan tingkat tinggi, salah-salah kita bisa terpeleset lantaran tanah basah. Langkah kaki tidak bisa memburu, harus pelan disertai kuatnya pijakan. Semilir angin bercampur kabut sangat jelas menempel di kulit muka.  

Menurut Pak Bari, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenapa jalur pendakian via selo selalu ramai. Salah satunya tedapat 2 sabana luas di jalur ini yang menjadi tempat favorit untuk mendirikan tenda. Rumput hijau yang menghampar luas menjadi daya tarik utama jikalau di bandingkan dengan 3 jalur lainnya.  

Perlahan namun pasti kita terus menjauh dan semakin masuk kedalam hutan, tetesan semangat yang masih segar meringankan langkah kaki seolah tanpa beban. Di tengah heningnya keadaan, dengusan nafas terdengar memburu “huh ... huh ... huh ... huh”, menggantikan percakapan yang hilang karena nafas aja engap-engapan. Istirahat dengan duduk bersandar pada tas carier yang lebih panjang dari gabungan punggung, leher dan kepalaku, menjadi nikmat Tuhan yang tak terdustakan. Kicauan burung berbalasan syahdu menyampaikan sambutan, “selamat datang, kawan.” Serangga dan hewan endemik di tengah hutan, bising bersahut-sahutan tak kala petang datang.

Ketika petang datang kami sudah sampai di pos III, sebuah tanah lapang yang sangat luas membentang. Perjalanan teramat berat untuk mencapai titik sejauh ini, terwakili dengan raut wajah Fia dan Yassinta, lelah, letih, lesu, tanpa ekspresi. Kondisi fisik serta stamina yang tak lagi sama menghambat kita untuk melanjutkan perjalanan. Konsentrasi dan kefokusan yang mulai berkurang mengharuskan kita untuk tinggal.

“Pak Kham, bangun tenda sini aja ya,” kata Yassinta dengan lemahnya.
“Iya om, sini aja, istirahat dulu besok baru dilanjutkan,” sambung Fia mencoba menjelaskan. Tanpa pikir panjang lagi melihat kondisi mereka berdua yang memang sudah tidak memungkinkan, saya turuti kemuan mereka.
“Ok, kita buat tenda disini. Cari semak-semak untuk perlindungan dari angin, biar tendanya ada sedikit perlindungan,” jawabku santai bermaksud menenangkan pikiran mereka. Segera saya bongkar tas carier tempat dimana saya menyimpan semua peralatan. Satu persatu dikeluarkan karena tenda berada dibagian paling bawah dari tas berukuran 80L tersebut. “Fi ... Yas ... bantu saya pasang frame,” pinta saya untuk mempercepat pemasangan tenda. Tenda berkapasitas 4 orang itu cukup longgar untuk kami bertiga. Semua barang diletakkan di bagian tepi tenda guna menghindari angin malam yang langsung menempel di dindingnya.
“Energen atau kopi pak kham?” tawar Yassinta ketika sedang merebus air panas.
“Coffee please... ,” jawab saya sambil tersenyum lebar penuh kemenangan. “Kapan lagi dilayani kayak gini sama 2 cewek sekaligus,” batin saya tertawa kegirangan. Seraya menunggu makan malam siap, saya berganti dengan pakaian kering agar nanti bisa istirahat dengan maksimal.

            Untuk menghilangkan dingin yang masih saja menembus tebalnya lapisan baju. Saya menyusul Fia dan Yassinta yang sedang menghangatkan diri duduk melingkari api unggun. Bersama dengan puluhan tenda lainnya, udara dingin malam itu kalah oleh hangatnya makna kebersamaan. Riuhnya obrolan membawa kita untuk menyaksikan malam terakhir, di tahun yang pernah diramalkan bahwa dunia dan alam semesta akan hancur ditelan kemusnahan, kiamat 2012.

“10 ... 9 ... 8 ... 7 ... 6 ... 5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1 ...,” puluhan atau bahkan ratusan orang mulai countdown. Tak jelas siapa yang memulai, seketika itu pula tanpa seorang pun yang mengkomandoi semua pendaki yang membangun tenda di pos III sepakat untuk berteriak bersama-sama, lantang, penuh kegembiraan.

Tiba-tiba,

“Ciuuuuuu ... Dor ... kretik kretik kretik ... Ciuuuuuu ... Dor ... kretik kretik kretik ... Ciuuuuuu ... Dor ... kretik kretik kretik ... Ciuuuuuu ... Dor ... kretik kretik kretik ...,” letusan kembang api menghiasi langit merbabu dengan megahnya.

Bersama ratusan bintang dan bulan terang, kembang api menjadi pernik warna-warni berkilauan terbang. Jarum jam sudah kembali bergerak, bergerak dengan hari baru, bulan baru, tahun baru, dan tentu saja semangat, resolusi serta inspirasi baru. Belum hilang bekas kegembiraan beberapa saat lalu, ketika hujan dengan derasnya tiba-tiba turun. Semua orang pun berlari ke tenda mereka masing-masing, seakan melupakan apa yang baru saja mereka luapkan. 
    
1 Januari 2013 diawali dengan hujan deras yang membabi buta, melunturkan paksa keceriaan puluhan atau bahkan ratusan orang. Berbenah di dalam tenda, merapikan semua barang, menjauhkan sepatu dari kemungkinan kehujanan, sebelum pada akhirnya sisa waktu akan digunakan untuk memejamkan mata. “Tletok ... Tletok ... Tletok ... ,” semacam tamu tak mengenal sopan, terpaan hujan pun menghantam dinding tenda dengan kasar. Dengan sedikit kekhawatiran akan hujan, tubuh ini pun tak bisa lagi bertahan, terus dan terus memaksa untuk diistirahatkan.

            Entah sejak kapan hujannya mulai reda, yang saya tahu ketika mata ini kembali terbuka, sinar pagi sudah menyapa. “Pada kemana ini?” tanyaku dalam hati ketika Fia dan Yassinta tak ada lagi disamping saya hanya kantung tidur mereka yang tersisa. Dengan menggunakan tissue basah, saya mulai mencuci muka sebelum keluar dari tenda. Melihat kanan-kiri sekitaran tenda mata ini tak jua menemukan mereka berdua. “mungkin nyunrise,” batin saya.

Tanpa mempedulikan mereka lagi saya kembali ke tenda untuk mempersiapkan keperluan summit attack dan memasak sarapan. Cuaca pagi ini lumayan cerah, masih bisa digunakan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke puncak gunung merbabu. Setelah kami bertiga selesai makan, kembai mengecek keperluan untuk perjalanan ke puncak tetap kami lakukan. Tepat jam 7 pagi, kami bertiga melanjutkan perjalanan.

Walaupun jalur pendakian selepas dari pos III lebih terjal nan curam, perjalanan bukan berarti lebih berat, karena sebagian besar barang yang tidak diperlukan kami tinggal di tenda. Punggung tanpa gantungan beban membuat langkah semakin lancar. Intensitas break pun tak sesering perjalanan semalam.

Namun perjalanan yang sudah begitu lancar, kembali menemui kendala ketika kabut tebal datang tiba-tiba, disertai angin kencang. Lapisan semangat dan mental yang begitu tebal mendorong kami untuk tetap melanjutkan pendakian ini. Puncak yang sudah didepan mata, memotivasi saya untuk mengantarkan Fia dan Yassinta berdiri di tanahnya.

“Pak kham, aku ditinggal disini aja, gak kuat, lemas banget aku, tak tunggu disini, kamu sama Fia lanjut aja,” keluh Yassinta dengan wajah datar.
“Nggak. Juk, ingat perjuanganmu untuk sampai disini, itu gak mudah. Apa mau kamu sia-sia kan? finish what have you thought,” kata saya mencoba menyemangati.   
“Ayo mbak juk, semangat, pelan-pelan aja, pasti saya temani, kita bersama pasti bisa,” tak kalah cerdiknya Fia membangun kembali mental Yassinta.
“Set your mind, free your soul, break your limits,” lanjut saya sambil menatap kedua mata Yassinta.

            Perlahan namun pasti langkah kecil ini menanjak dan semakin menanjak. “Yang capai itu semangatmu, mentalmu, bukan fisikmu. Capai itu pasti tetapi semangat adalah pilihan,” terngiang kata-kata pelatih Paskibraka sewaktu SMA. Mungkin itu juga yang sedang terpikir dalam benak Fia dan Yassinta, mereka berdua kembali lagi ke 100% setelah beristirahat cukup lama. Tak terasa, mereka menginjakkan kakinya juga di tanah tertinggi gunung merbabu. Begitu jelas rona kepuasan, rona kegembiraan, rona kelegaan, memancar di wajah mereka berdua. “Syukur alhamdulilah ... Terima kasih Tuhan telah mengijinkan saya merasakan betapa agung nya ciptaan-Mu,” ucap Yassinta dengan mata berkaca-kaca. Namun, sayang karena kabut yang sangat tebal, pemandangan yang seharusnya hijau menyegarkan tak dapat dinikmati oleh mata secara langsung.    

            Cuaca memang tidak bisa dipastikan, dengan sangat derasnya hujan turun seketika.
“Celaka,” teriak saya.
“Kenapa om,” sahut Fia kaget.
“Jas hujan ketinggalan di tenda”, jawab saya sekenanya, sembari kedua tangan masih berusaha mencari di dalam tas. Memang benar satu pun jas hujan tidak ada yang terbawa. Entahlah, bagaimana hal ini bisa terjadi, mungkin karena cuaca pagi tadi yang lumayan cerah membuat kami lupa untuk membawa jas hujan. Hujan lebat diiringi petir-petir yang menyambar terpaksa diterjang tanpa pengaman. Dingin menyergap keseluruh bagian tubuh, rahang tak berhenti menggigil, kepala pun sedikit demi sedikit mulai pusing. Mau tidak mau kami harus mempercepat langkah untuk menyegerakan diri kembali ke tenda. Lari, kalau mungkin.   

            Hujan tak kunjung reda ketika kami bertiga sudah sampai di tenda. Sesegera mungkin kami mengeringkan badan agar dingin yang membungkus kulit, lekas menghilang. Sungguh, cuaca sedang sangat tidak bersahabat berjam-jam kami berteduh di dalam tenda, selama itu pula tak ada tanda-tanda curah hujan berkurang.

“Gak dingin to om cuma pakai sarung,” tanya Fia dengan senyum nyinyir.
“Lha mau gimana lagi, bajuku kamu basahin semua to,” balasku cuek. Di dalam tenda ketika berteduh dari hujan saya memang tak mengenakan pakaian, seluruh baju ganti basah kehujanan selama turun dari puncak tadi, terpaksa badan hanya terbungkus sarung. Niat hati ingin berfoto dengan berganti-ganti pakaian, tapi kenyataan malah tak mengenakan. 
Menjelang maghrib hujan berhenti, dengan terburu kita berkemas, dan bersiap untuk turun.

***

            Fia dan Yassinta malah cengar-cengir kayak orang tak punya dosa ketika saya menanyakan ke mereka, apa yang sebanarnya terjadi.
 
“Asem kowe, malah senyum-senyum,” lanjut saya jengkel.
“Hahaha ... gak ada apa-apa pak kham, suer ... ,” jawab Yassinta tertawa membahana.
“Ora mungkin ... ,” potong saya.
Gini, lho Mas Zaenal, kemarin itu kan saya ijin sama mama tanggal 1 Januari sore sudah sampai rumah lagi. Tapi karena kemarin itu pas nanjak kita terjebak hujan deras sehari semalam di dalam tenda, makanya kita nambah sehari di gunung merbabu. Itu yang membuat mama dan keluarga di rumah bingung, makanya kemarin itu mama ngelaporin sama ke SAR, dikiranya saya kenapa-kenapa gitu di gunung. Tapi gak papa kok, saya udah ngejelasin semuanya ke mama,” papar Yassinta panjang lebar sebagai jawaban atas pertanyaan Zaenal.
“Oalah ... mbok ya kalau ada apa-apa itu menghubungi orang dirumah biar gak pada bingung,” respon Zaenal ,”Soalnya kemarin mas mu telpon saya tanya-tanya, katanya DKR Karanganom naik gunung. Saya kan bingung mau jawab gimananya,” lanjut Zaenal.
“hah... ??? SAR. Serius?” tanyaku kaget.
“Kok aku nggak kamu kasih tahu juk,” lanjutku dengan nada kecewa ,”aku kan jadi gak enak sama mama kamu, sungkan. Nanti dikira aku gak bisa tanggung jawab karena ngajak kamu naik gunung.”

              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar