Laman

Sabtu, 07 September 2013

Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Merapi


Menembus Batas di Gunung Merapi
2998 mdpl
Via Selo, Boyolali, Jawa Tengah

Oleh : Irkham Zamzuri

Untukmu yang telah memberikan iman
Untukmu yang telah mendidik moral
Untukmu yang telah mengorbitkan kepercayaan
Untukmu yang selalu menyayangi sang titipan
Untukmu yang selalu ada untukku
Untukmu yang mengerti keadaanku
Untukmu ... wahai engkau nafas kehidupan
Terima kasih Tuhan, Keluarga, Sahabat, dan Kawan
tidak sekedar bermimpi tapi kami punya impian

Sudah 2 hari ini handphone saya non aktifkan semenjak saya harus menemani Laszlo dan Philip, kawan saya dari Belanda dan Filipina untuk melakukan pendakian di gunung merapi dan merbabu. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 ketika terdengar sebuah nada dering berbunyi sebagai pertanda bahwa ada pesan masuk beberapa menit setelah handphone saya aktifkan, benar saja beberapa pesan sudah mengantri masuk silih berganti menunggu untuk dibaca. Sebuah pesan yang saya rasa tidak biasa datang, “Pak, masuk kuliah kapan”? berniat untuk segera membalas pesan tadi tiba-tiba jaringan sinyal di ponsel saya hilang, maklumlah posisi saya masih berada di basecamp pendakian gunung merbabu. Sambil melihat-lihat handphone yang sedari tadi saya angkat keatas untuk mencari jaringan sinyal, terdengar suara yang sepertinya mengarah ke saya.


Laszlo : “What are you doing”? tanyanya ketika sedang sibuk membersihkan sisa-sisa debu yang masih menempel hampir di seluruh tubuhnya.
Me : “Searching for connection”. Jelas saya tanpa melihat kearah laszlo yang juga masih sibuk dengan debu-debunya.
Laszlo : “What ... Really ??? How come ??? responnya sambil menatap saya sedikit kebingungan. Mungkin memang benar kalau dia sedang merasakan sedikit kebingungan jika dilihat dari raut wajahnya yang sedikit aneh. Sebenarnya saya pribadi juga bingung dengan apa yang saya lakukan jika diminta untuk berpikir secara logis tentang tindakan saya ini. Apa hubungannya coba antara mencari sinyal dengan mengangkat handphone tinggi-tinggi. Emang iya, sinyal terus bisa nyangkut di handphone saya ??? Wajarlah kalau dia bergumam, “crazy” hahaha...
Me : “Of course ... old style man”! papar saya ngawur sambil terus mengangkat tangan saya hahaha. Sampai akhirnya, “yeah ... dapat” teriak saya kegirangan.
Laszlo : “Can you”? tatapnya semakin serius.
Me : “Why not! Sometimes we get lucky, laszlo”? sahut saya dengan bangganya, hahaha

Setelah kalimat untuk membalas pesan dari Yassinta Aulia telah selesai diketik, “Masih  sebulan lagi juk. Ngopo emang”? beberapa detik kemudian munculah sebuah pemberitahuan Pesan Terkirim dilayar handphone saya. Dan ternyata setelah kembali masuk kedalam ruangan jaringan di handphone saya hilang lagi. Oh ... God. Come on ...

Waktu itu adalah tanggal 18 Agustus 2013 ketika saya, Laszlo dan Philip sedang beristirahat di basecamp pendakian gunung merbabu setelah barusaja turun beberapa saat yang lalu. Dengan cuaca yang sangat panas seperti hari ini, mendaki gunung sungguh sangat menguras tenaga. Apalagi merbabu adalah gunung kedua dan juga hari kedua bagi kami, setelah tanggal 17 Agustus kemarin kami bertiga merayakan hari kemerdekaan Indonesia dengan mendaki gunung merapi. Pengalaman yang luar biasa bagi saya mengingat kedua teman saya bukanlah orang Indonesia namun dengan bangganya mereka berdua sengaja datang ke Indonesia untuk merayakan kemerdekaan Indonesia dengan mendaki gunung berapi teraktif di Indonesia, gunung merapi. Belanda dan Indonesia beratus tahun yang lalu sempat terlibat dalam pergolakan yang sangat lama, dimana sudah diketahui oleh semua orang bahwa Belanda menjajah negara Indonesia selama 350 tahun lebih. Namun saat ini saya merayakan kemerdekaan negara Indonesia dengan Laszlo, seorang pemuda berwarga negara Belanda. Apakah saya takut, tidak! Walaupun dia adalah seorang asing tapi Laszlo sangat respect dengan negara kita, Indonesia. Dia selalu memuji akan keindahan alam Indonesia yang sungguh luar biasa dan maha luas. Terbukti dengan kerelaannya dan kesengajaannya datang ke Indonesia hanya untuk merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke 68. Sempat terharu dengan dia dan philip, dua pemuda asing yang cinta akan Indonesia.

Setelah istirahat dan bersih-bersih badan dirasa cukup kita putuskan untuk segera kembali ke Jogja dengan berkendara sepeda motor. Namun sebelum itu kita sempatkan untuk makan siang terlebih dahulu di basecamp pendakian gunung merbabu. Menu makan siang kali ini adalah soto, tergolong cukup istimewa di tempat ini karena kemarin selama pendakian kami bertiga hanya makan roti, snack, ataupun mie instan. Maklumlah kami hanya menghabiskan waktu semalam di gunung, jadi kami hanya membawa bekal yang ringan-ringan saja selama pendakian. Mereka berdua kelihatannya sangat menikmati makan siang kali ini, soto yang cukup nikmat di basecamp Selo, Boyolali. Dan teh panas adalah teman setia kami selama 2 hari di kawasan taman nasional merapi merbabu, sangat cocok untuk relaksasi badan ataupun sekadar penghangat tubuh sebagai pengganti tenaga yang sempat hilang pasca pendakian. Masih teringat dengan jelas di memori ketika Philip dan Laszlo menanyakan hal yang sama kepada saya, “what is it, unique and nice taste”? dengan bangga saya jelaskan kepada kedua teman saya itu, “Yeah ... I think so, very delicious taste. This is what called as “soto” or known as chicken soup. Made with traditional recipe of Indonesia”. Do you like it”? dengan kompaknya mereka berdua menjawab, “Of course .... I like it so much, it’s good for us”.Dalam batin, saya cukup bangga dengan apresiasi kedua teman baru saya itu. Sebuah pujian yang sangat jarang saya dengar bahkan dari mereka para pemakan setia kuliner ini. Karena hari sudah semakin sore kami putuskan untuk segera bergegas pulang. Boyolali, Klaten, Jogja, kami tempuh dengan berkendara sepeda motor selama 2,5 jam. Sampai akhirnya kami semua sampai di meeting point dengan kawan-kawan couchsurfers regional Yogyakarta yang sedang melangsungkan gathering. Sedikit menyimak dan mengikuti ternyata agenda mereka adalah halal bi halal sesama memberscouchsurfing regional Yogyakarta dan Laszlo serta Philip menjadi tamu yang cukup istimewa buat teman-teman yang lain. Sampai akhirnya saya harus berpisah dengan mereka berdua, sisa 3 hari Laszlo dan Philip di Jogja selanjutnya akan dipandu oleh teman-teman couchsurfing lain yang berdomisili di jogja. Dan tugas saya untuk memandu Laszlo dan Philip untuk melakukan pendakian di gunung merapi dan merbabu selesai dengan ditandai makan nasi goreng bersama. Thanks guys ... Enjoy your holidays!

Philip, Laszlo and Me
FYI, Laszlo mempunyai tinggi badan yang sangat ideal layaknya pemuda Eropa lainnya, tinggi besar, berhidung mancung, serta berkulit putih. Namun Philip, saya rasa dia lebih mirip orang lokal jika sekilas dilihat dari bentuk tubuhnya, wajahnya, kulitnya, ataupun rambutnya. Baru akan ketahuan kalau dia adalah foreigner kalau kita mengajak dia bicara, pastilah dia tidak bicara bahasa Jawa ataupun Indonesia. Kejadian sangat lucu yang masih saya ingat sampai sekarang, pertama ketika baru tiba di bandara internasional Adi Sucipto Yogyakarta, petugas bandara mengajak ngomong Philip dengan penuh percaya diri dalam bahasa Indonesia. Hahaha ... sampai akhirnya Philip merespon, “what do you mean, i’m not Indonesian”? barulah petugas bandara menyadari kesalahannya. Kedua, selama perjalanan pendakian merapi ataupun merbabu banyak sekali pendaki lain yang kebetulan berpapasan dengan kami saling menyapa, tetapi “amit mas” “nyuwun sewu mas” “misi dab” ataupun “permisi mas” dan “mari mas” hahaha ... batin gue, lo kira dia orang kita. Untunglah sebelum melakukan pendakian saya sudah sedikit menjelaskan kepada Philip untuk tetap tenang dan selalu senyum dalam merespon mereka, “but, why they are always say hello when meet us”? sambil tersenyum ramah saya bilang, “that’s Indonesian, man”! Ketiga, ketika kami sedang beristirahat sambil sandaran pada tembok di basecamp merbabu yang kebetulan diatas tempat Philip duduk ada colokan listrik untuk charger handphone, ada seorang pemuda yang sudah sangat kecapaian dengan wajah pucat datang kepada philip. Dengan kondisi yang belum sepenuhnya sadar dia bilang ke Philip, “nyuwun tulung mas” sambil mengarahkan hp dan chargernya kearah Philip. Tanpa memberikan respon apapun dan sambil tengak-tengok Philip masih bingung dengan apa yang sedang pemuda itu lakukan. Namun hal yang sangat membuat saya kaget adalah pemuda itu berkata, “kepriben to sampean iku kang, dijaluki tulung malah meneng bae” hahaha ... dengan sedikit emosi pemuda itu mulai berkata sedikit keras menggunakan bahasa Jawa khas Tegal an atau Cilacap an (mohon maaf tidak bermaksud rasis), kepada Philip. Sontak, Philip langsung merespon, “What are you talking about? I don’t understand, keep calm man”. tiba-tiba suasana hening melanda, hanya terdengar dengusan nafas pemuda tadi yang mulai sedikit kencang dan memburu. Sampai akhirnya dalam hitungan detik, pemuda tadi lari entah kemana. Hahaha ... sumpah, sungguh kejadian yang sangat lucu. Setelah saya jelaskan apa yang terjadi kepada Laszlo dan Philip, barulah mereka berdua ikut tertawa dengan lepasnya hahaha ... “these troubles cause of you Philip”. Imbuh Laszlo yang masih terbawa dalam suasana penuh tawa hahaha ... Sungguh terlalu, kata bang Haji Rhoma.

Beberapa hari setelah membalas pesan dari Yassinta Aulia atau lebih akrab kami panggil jujuk, pada tanggal 23 Agustus 2013 saya bertemu dengannya di acara gladi bersih persiapan upacara dalam rangka untuk memperingati hari pramuka ke 52 di lapangan merdeka, Karanganom Klaten. Dia memberitahu saya kalau masih punya liburan sebelum masuk kuliah pada semester III selama 3 minggu, makanya dia mengajak untuk menghabiskan liburan salah satunnya dengan mendaki gunung. Dengan berbagai pertimbangan yang telah diambil dan tambahan teman yang bersedia untuk bergabung diputuskanlah pada tanggal 28 Agustus 2013 mendatang tepatnya hari Rabu, kami berempat akan mendaki gunung merapi. Bagi saya pribadi tidak pernah ada kata “basi” untuk mendaki gunung merapi karena tempat ini sungguh luar biasa dan penuh perjuangan untuk mendakinya, padahal beberapa hari yang lalu baru saja mendaki merapi tapi saya selalu ketagihan untuk mencapai puncaknya. Saya dan ketiga teman saya ini sudah sangat akrab dan hampir selalu berkegiatan outdoor bersama, untuk Yassinta Aulia ini adalah pendakian pertama ke Merapi, sedangkan untuk Febrina Suci Wulandari merapi adalah gunung pertama dalam sejarah pendakiaannya so let bring her success, Giananda Saktika Nugraha akan mengukir kali kedua menginjakkan kaki di gunung merapi, dan untuk saya pribadi ini adalah pendakian merapi yang ke sekian kalinya. Hahaha ... Yap ... benar, tak ada kata bosan walaupun track nya terjal menantang.

Tak perlu rapat untuk melakukan persiapan sebelum melakukan pendakian di gunung merapi kali ini, saya hanya memberikan info kepada ketiga teman saya itu melalui pesan sms. Terkait apa-apa saja yang harus dipersiapkan untuk keperluan pribadi ataupun kelompok. Sehubungan dengan peralatan cooking setsaya masih dibawa teman kuliah yang berada di Jogja dan kebetulan juga saya tidak sempat untuk mengambilnya, terpaksa untuk pendakian kali ini kami akan menggunakan parafin (bahan bakar padat) untuk memasak selama pendakian. Setelah dirasa semua persiapan cukup diputuskanlah untuk berkumpul dirumah Yassinta Aulia, Jatinom Klaten pada jam 20.00 tanggal 27 Agustus 2013. Sebelum berangkat kesana saya terlebih dahulu kerumah Giananda Saktika Nugraha atau Nanda untuk berangkat bersama menuju meeting point dengan berboncengan untuk menghemat kendaraan ataupun kalau kita kecapaian bisa bergantian. Cukup istimewa, ketika saya sampai dirumah nanda ternyata dia barusaja bangun tidur. Hahaha ... kok bisa ya ??? atau apa sudah capai sebelum mendaki ??? maybe not maybe yes ... hahaha

Semua sudah berkumpul di tempat yang disepakati bersama karena memang rumah Yassinta merupakan titik yang paling dekat untuk menuju tempat tujuan yaitu Selo, Boyolali. Dengan menggunakan 2 motor saling berbonceng kami berangkat setelah berpamitan dengan tuan rumah. Entah suatu kebetulan atau apa, ternyata ibunda dari teman kami ini juga mempunyai hobi yang sama sewaktu muda dahulu. Sambil memberikan restu kepada kami berempat ibunda yassinta bercerita secara singkat kalau dulu dia juga suka mendaki gunung semasa SMP sampai tamat kuliah. Maka dari itu beliau tidak akan melarang anaknya untuk menyatu dengan alam karena menurutnya ini adalah kegiatan positif yang akan sangat berguna untuk pembentukan karakter anaknya. Seakan suatu kebetulan hal itulah yang juga saya amini selama ini, kenapa saya mendaki gunung. Namun ada juga dimana orang tua tidak merestui anaknya untuk melakukan kegiatan di alam bebas. Mungkin salah satu alasannya karena si anak itu sendiri masih terlalu manja dan tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Makanya orang tua mereka juga was-was kalau harus melepas anaknya di alam bebas. Sebagai contoh kalau si A sedang sakit yang tidak terlalu parah semacam pusing atau flu di kosan mereka, tetapi justru si A ini mengadu kepada kedua orangtua tentang keadaannya. Saya rasa hal-hal semacam inilah yang punya peranan menghambat restu kedua orang tua, karena dari pihak orang tua akan berpikiran ternyata anak saya belum bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Atau mungkin ada juga alasan lain, dimana ketika akan melakukan kegiatan di alam bebas kita terlalu bergantung kepada orangtua untuk meminta uang saku sepenuhnya demi membiayai kegiatan kita di alam bebas. Come on guys ... Terkadang kita harus menyisihkan sebagian dari uang jajan supaya bisa bersenang-senang, dalam artian untuk berkegiatan di alam bebas. Bolehlah minta uang saku dari orang tua, tetapi jangan selalu menggantungkan itu sebagai modal utama kita berkegiatan di alam. Dengan begitu kemungkinan restu kedua orang tua akan kita dapat dengan mudah. Atau kalau hal-hal tersebut masih belum berhasil, ada baiknya kita introspeksi diri dulu. Kenapa orang tua kita tidak memberikan ijin kepada kita, mungkin ada sikap atau tindakan yang kurang baik dimata kedua orang tua kita. Satu hal yang tidak saya anjurkan, jangan sekali-kali berkegiatan di alam bebas tanpa restu kedua orang tua bagaimanapun restu orang tua adalah segalanya, bukan ? Bahkan didalam salah satu ajaran agama hal seperti ini juga diajarkan dengan sangat tegas dan jelas, bahwa restu Tuhan bergantung pada restu orang tua. Dengan kata lain kalau kita berangkat kemanapun dengan restu kedua orang tua, mudah-mudahan Tuhan pun merestui dan mempermudah langkah kita semua. Bukankah ini yang kita selalu inginkan ???
Satu jam berkendara sampailah kami di daerah Cepogo Boyolali, mengingat saya belum membeli perbekalan pribadi untuk pendakian malam ini akhirnya kami putuskan untuk berhenti di salah satu minimarket sebelum tikungan terakhir menuju pasar Cepogo. Dirasa cukup dengan belanja perbekalan, tiba-tiba saya harus mencari toilet untuk buang air kecil. Kebetulan sekali didepan tempat kami berhenti ada sebuah masjid yang tidak ditutup sehingga saya bisa pergi ke toilet. Setengah jalan menuju masjid, saya sedikit takut karena ternyata semua lampu sudah mati. Hahaha ... Untunglah si Nanda juga menemani sehingga tumbuhlah kembali keberanian saya. Hahaha ... Sedari tadi kami merasa kedinginan selama perjalanan tetapi air didalam kamar mandi masjid ini jauh lebih hangat dari terpaan angin malam selama perjalanan.

Ketika kami berempat sampai di basecamp pendakian gunung merapi di Selo Boyolali, ternyata loket pendaftaran sudah tutup. Saya sempat berpikir karena hal ini tidak biasa terjadi atau mungkin karena pendakian pada malam hari cukup sepi, bila saya hitung dari beberapa motor saja yang parkir di posko barameru. Sekitar jam 22.45 kami masuk kedalam rumah warga yang menjadi basecamp bagi para pendaki yang akan mendaki di gunung merapi, didalam sudah ada beberapa teman yang juga akan mendaki gunung merapi. 3 dari 7 orang yang ada didalam ruangan ini sedang tidur dengan badan terbungkus sleeping bag, sedangkan keempat lainnya sedang asyik bermain dengan gadget mereka masing-masing menunggu dinihari tiba sebelum pendakian dimulai. Setibanya disana kami bertemu dengan dua orang yang nampaknya tidak punya niatan untuk mendaki, hanya mengeluarkan sebuah jam dinding putih dengan tanda organisasi mereka. Dengan ditempeli sebuah kertas putih, bertulis “kenang-kenangan dari PEPALA SMA N 4 Yogyakarta” atau lebih sering dikenal dengan patbhe. Sekolahan itu tidak asing buat saya karena beberapa teman baik saya alumni dari SMA tersebut dan saya sering mendengar sedikit cerita tentang patbhe. Setelah menempel jam dinding disalah satu tiang rumah joglo tersebut, mereka lantas berpamitan dan segera pergi keluar dengan berkendara sepeda motor. Thanks mamen ... Sudah meninggalkan hal yang bermanfaat untuk kepentingan bersama para pendaki lain gunung merapi. Kami berempat berencana untuk memulai pendakian dini hari ini pukul 01.00 jadi masih punya kesempatan untuk beristirahat selama 2 jam. Tanpa buang waktu untuk hal-hal yang tidak perlu, akhirnya saya dan ketiga teman memutuskan tidur demi rechargetenaga sebagai bekal persiapan.

Meminta kepada Tuhan adalah salah satu ritual yang selalu dilakukan dimanapun kami berada demi mempermudah langkah dalam setiap kegiatan. Bukan begitu kawan ??? Sama halnya dengan apa yang kami lakukan dini hari ini, berdoa memohon kepada Tuhan YME semoga langkah ini diperlancar selama pendakian. Berdo’a mulai!

Kesalahan Fatal

Baru 10 menit berjalan, tiba-tiba satu anggota team kami merasa ada yang salah dengan kepalanya. Febrina Suci Wulandari atau lebih akrab kami panggil Suci merasakan pusing yang luar biasa serta perut yang terasa mual. Dia meminta break untuk berusaha memulihkan tenaga dan kondisinya. Awalnya saya pribadi belum curiga dengan keadaan Suci, hanya berpikiran maklumlah pertama kali mendaki gunung harus butuh penyesuaian. Tetapi saya merasa hal ini benar-benar aneh dan diluar dari kewajaran, memandu orang yang baru pertama kali mendaki sudah sangat sering saya lakukan tetapi apa yang dialami oleh Suci baru pertama kali ini terjadi. Belum ada lima menit berjalan setelah meminta breakdia selalu beristirahat dan pasti duduk lemas tak berdaya. Rentang waktu berjalan dengan istirahat justru lebih banyak untuk beristirahat. Lama kelamaan saya terus memperhatikan langkah kaki dan raut wajahnya, tak ada tenaga di setiap ayunan langkah kaki, gontai tak bertenaga sedangkan wajahnya pucat senada dengan tatapan mata seorang berputus asa. Walaupun saya dan kedua teman selalu memberikan semangat dan motivasi yang tanpa henti kepada Suci, nampak-nampaknya hal ini tidak akan berhasil kalau belum dibenarkan dari awal. Saya harus berpikir dengan apa yang sedang terjadi kepada Suci, saya harus bisa mengantarkan dan membawanya kepada puncak merapi. Tapi, itu semua masih jauh dari harapan yang kami impikan. I say to her, set your mind, free your soul, break your limits, untuk selalu memberikan dorongan secara moral agar Suci segera bersemangat. “ayo ci, semangat. Jangan dibuat susah kita disini untuk bersenang-senang. Semangat! Semangat!” kata-kata macam itulah yang selalu terdengar selama 2 jam awal perjalanan kami. 2 jam dalam pendakian ini sungguh-sungguh terasa sangat lama karena kami berempat baru sampai di gerbang selamat datang yang normalnya hanya ditempuh dalam waktu 30 menit perjalanan normal. Melihat kondisi Suci yang sudah tidak memungkinkan untuk dipaksa melanjutkan perjalanan saya selaku team leaderpendakian malam ini memutuskan untuk beristirahat total demi menjaga kondisinya. Yassinta, Nanda dan saya sudah sempat khawatir dengan kondisi Suci yang semakin memburuk lemah tak berdaya bahkan hanya untuk berjalan saja Suci pasti selalu terpeleset karena sudah tak punya cukup tenaga demi mempertahankan cengkraman pada langkah kakinya.

Tenda yang kami bawa pun segera dikeluarkan dari tas dan dengan singkat sudah berdiri kokoh, seakan bersiap untuk menampung tuannya yang sudah membutuhkan hangatnya. Si Nanda dan Yassinta segera mengeluarkan perbekalan yang sudah dibawa untuk segera dimasak demi memberi tenaga kepada kami berempat, sementara itu Suci rebahan di dalam tenda berselimutkan sleeping bag yang mulai menghangatkan tubuhnya. Peralatan masak sudah disiapkan, rebusan air yang sudah mendidih tinggal kita campur dengan nutris*ri demi menghangatkan badan dan mengembalikan tenaga. Empat gelas plastik yang dibawa dari rumah, masing-masing terisi penuh dengan minuman panas menyegarkan di tangan. Segera saja semuanya minum dengan gelas masing-masing sambil menunggu rebusan air untuk memasak mie instan mendidih. Sungguh suasana yang tidak akan pernah kamirasakan jikalau tidak ada malam ini. very special.Bersulang untuk kawan kita, Suci. cheeerrrssssss ...Makanan pun sudah siap untuk disantap, hangat ... benar-benar seperti oase di tengah padang pasir yang luas. Dengan lahapnya kami berempat mengisi perut yang sudah sedari tadi kelaparan meminta untuk diberi asupan kalori demi pembakaran yang seimbang.

Ternyata keputusan kami untuk berhenti total itu benar. Walaupun sudah sempat untuk merubah rencana pendakian kali ini dengan kemah ceria, tiba-tiba terjadi perubahan pada Suci yang kelihatannya sudah mulai segar kembali. Sudah ada guratan senyum di wajahnya sebuah tanda bahwa jiwa dan pikirannya sudah menyatu dengan alam.

“Juk, pendakian kali ini tergantung kepada Suci ya, kita bertiga hanya mendampingi keadaannya yang kurang memungkinkan untuk melanjutkan. Jadi jangan menyesal jika kita tidak dapat mencapai puncak, kita bisa kembali lain waktu”. Itulah hal yang sempat saya katakan kepada Yassinta demi menenangkannya, siapa tahu dia sedikit kecewa dengan keadaan malam ini. Tetapi dengan santainya, sebuah jawaban melegakan terdengar.
“Santai lho pak. Apapun yang terjadi kita berempat adalah team yang harus selalu bersama puncak ataupun tidak. Yang penting adalah kebersamaan, lebih dari itu adalah arti dari sebuah persahabatan. Jadi saya ikut dengan semua keputusanmu”. Jelasnya dengan penuh bijaksana seakan tak mau meyinggung perasaan Suci. Gaya bicara yang penuh kehati-hatian atas nama persahabatan. Maklumlah antara Yassinta dan Suci sudah sedari SMA mereka bersahabat so tak mudah terlepaskan, layaknya perangko dan amplop.

Nanda, yang sedari tadi cuma diam mulai membicarakan sesuatu terkait kondisi Suci malam ini. Mulai menerka atau sekadar menganalisa berdasarkan pemikiran dan perlahan mulai diutarakan. Nada bicara yang nampaknya ditujukan kepada saya,

Nanda : “Leh, coba perhatikan kondisi Suci selama perjalanan dan setelah kita beristirahat total”. Serunya dengan sedikit ragu-ragu penasaran. FYI, (... leh ...) adalah panggilan yang biasa saya dan Nanda gunakan. Inspirasi dari film Crows Zero yang sempat kami tonton dengan subtittle bahasa Jawa Semarang an.
Me : “Memangnya kenapa, leh”? sahut saya belum terlalu tertarik dengan apa yang Nanda maksudkan.
Nanda : “Itu lho coba liat si Suci setelah makan dan minum yang hangat barusan. Perubahan yang drastis, bukan? Jangan-jangan”? lanjut Nanda sedikit mulai serius jika dilihat dari nada bicara dan raut wajahnya yang mulai berbeda.
Me: “Cuma lapar”. Potong saya dengan cepat, sambil terus memperhatikan Suci secara mendalam. Ternyata memang benar rona dari kedua bola matanya mulai bersinar terang, guratan renyah juga mulai nampak jelas diwajahnya. Pemandangan yang selama 2 jam tadi tidak bisa kami lihat sama sekali, bahkan hanya untuk sebuah senyuman. Justru sebuah kalimat bernada penyesalan dari Suci yang selalu terdengar mengiringi jalan malam super lambat kali ini, kira-kira jika dirangkum demikian “Mas, Mbak, aku minta maaf ya. Jadi merepotkan kalian semua, hanya bisa memperlambat perjalanan ini, menyusahkan, selalu minta istirahat padahal kan kita jalan belum ada 10 menit”. Berasa tak tega dengan kejujuran akan kelelahan Suci yang mulai kentara, kami bertiga selalu berusaha untuk memberikan jawaban bijaksana kepadanya agar tak menjadi beban pikiran. Kalimat motivasi selalu menjadi penyemangat tanpa henti yang selalu kami keluarkan demi memberikan suntikan tenaga melalui pola pikirnya. Karena kami percaya yang lemah itu bukan fisik Suci tapi mental nya, maka dari itu hanya dengan kata-kata maupun kalimat pendorong, kami selalu berusaha membantunya untuk menguatkan mental. Karena capai itu pasti maka semangat adalah pilihan. Semangat Suci !!! If I can, yes ... you can !!! Dream. Believe. Make it happen. Bahwa keajaiban itu ada, datang di dunia imajinasi bersama pikiran. Impian adalah sesuatu yang bahkan lebih hebat dari ilmu pengetahuan, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Datang di dunia nyata bersama perjuangan dan kerja keras manusia, certamen ergo sum, aku berjuang maka aku ada.
Nanda : “Kelihatannya begitu, leh”. Papar nanda dengan setengah guratan senyum lebar.
Yassinta : “Aku juga berpikiran begitu, mas”. Tukas jujuk yang nampaknya mulai tertarik dengan perbincangan kami berdua. Seketika kami bertiga saling bertatapan muka, untuk meyakinkan tentang apa yang telah dibicarakan. Dan ... Dalam sepersekian detik kami bertiga mulai sedikit tertawa yang juga diikuti oleh Suci. Dalam diam ternyata teman kami yang sedari tadi tak berdaya mendengarkan perbincangan kami bertiga, sampai akhirnya memang dia sudah larut dalam keceriaan. Tak ada lagi wajah pucat ataupun tatapan suram, sekarang adalah Suci sang penari energik yang kami kenal sudah 100% fit. Hahaha ...

Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan dalam mencari jawaban selama 2 jam awal pendakian. Yap ... kondisi perut yang kelaparan memang menjadi petaka selama perjalanan. Anehnya, ketika kami tanya kepada Suci kenapa dia tidak berterus terang kalau sedang menahan lapar, tahukah anda apa jawabnya ??? “Lha, tadi nggak enak kok mas kalau mau bilang”. Jawaban yang sangat polos bukan ??? hahaha ... benar-benar kesalahan fatal yang luput dari perhitungan. Bisa menjadi evaluasi untuk siapa saja jika berkaca pada hal yang telah terjadi kepada rombongan kami ini. Jangan pernah menganggap remeh dengan kondisi perut, pasalnya jikalau perut sedang kosong maka secara logika tidak akan ada pembakaran kalori yang akan dirubah menjadi tenaga untuk tubuh kita. Padahal kita sedang melakukan aktifitas berat yang membutuhkan banyak sekali tenaga, nah ... kalau tidak ada pembakaran ??? Gimana coba ???

Break Your Limits

Welcome back Suci ... Senang sekali rasanya dapat melihat anggota team kami kembali dalam perform terbaiknya, setidaknya hal yang demikian ini dapat menambahkan semangat terhadap semua anggota rombongan. Tanda-tanda bahwa keadaan Suci mulai membaik semakin jelas terlihat ketika semburat jingga kekuning-kuningan mulai muncul di seberang sana, jauh di depan mata tetapi nampak begitu dekat jikalau dirasa. Teropong besar bermerk nik*n yang dibawa Suci segera dikeluarkan untuk memperpendek jarak pandang dengan titik bidikan. Diikuti dengan suasana yang mulai menerang kami berempat saling bergantian memicingkan mata di depan lensa teropong, untuk segera melihat pemandangan yang begitu indah dari segala lini dengan lebih dekat. Sinar malu-malu sebelum cahaya di ufuk timur seakan menjadi pendorong semangat kami untuk segera memulai hari dengan sepenuh hati. Matahari pagi menginspirasi setiap langkah kaki untuk memulai hari baru dengan harapan setiap langkah yang lebih baik daripada hari kemarin. Sungguh menakjubkan ciptaan Tuhan jika kita bisa melihat lebih dan lebih dekat lagi. Sama halnya dengan apa yang saya rasakan ketika melihat janin matahari pagi yang bulat sempurna secara perlahan muncul ke permukaan dengan radiasi engergi positif yang luar biasa, dibalik lensa teropong. Cerahnya cahaya sedikit menyilaukan kedua bola mata, namun dengan kedua bola mata itu pula kita selaku manusia akan dengan sepenuh hati menerima kehadiran-Nya, jikalau memang membuka hati untuk menerima. Tak bisa berkata-kata hanya tertegun mensyukuri agungnya ciptaan Tuhan YME. Maha Besar Engkau Tuhan ...

Setelah cukup puas dengan apa yang telah dilakukan masing-masing dari kami segera berbenah diri guna melanjutkan langkah kaki, karena Suci yang sudah kembali dalam 100% mengajak semua anggota rombongan untuk meneruskan perjuangan. “Fighting is not over“ !!! Silih berganti mencari toilet yang dianggap cukup privacy, saya pun tak ketinggalan segera menuju titik sepi demi ritual panggilan alam. Kesimpulannya adalah, “toilet with the best ever view I have”. Hahaha ... Pernah nggak punya toilet dengan landscape secara langsung cerahnya gunung merbabu, langsung di depan mata lo secara terbuka ??? Kagak bakalan lo dapetin deh, kalau cuma duduk diam dirumah ... hehehe . peace !!!Inilah salah satu hal yang tidak akan pernah kita lupakan sepanjang hidup kita, bahasa kerennya adalah “moments to remember”.

Jarum jam telah melakukan kombinasi yang sangat baik layaknya pasangan emas jika kita mengutip istilah dalam dunia sepakbola. Dahulu sewaktu saya masih SD ada sebuah film kartun dari Jepang bertema sepakbola, captain tsubasa.Captain tsubasa selaku aktor utama mempunyai teman bermain dalam satu team yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata mengolah si kulit bundar, misaki. Karena bentuk permainan dan kerjasama yang sangat cantik antara kedua pemain ini, tak ayal semua teman-temanya menjuluki mereka sebagai pasangan emas. Ya ... pasangan emas, tsubasa dan misaki. Sebuah film kartun asal Jepang dalam rangka menyambut piala dunia sepak bola tahun 2002, telah berhasil menyita perhatian dunia kala itu. Sementara kerjasama pasangan emas dalam dunia waktu diwakili oleh kedua jarum jam, jarum pendek dan panjang. Kombinasi yang selalu bersesuaian dengan waktu yang sesungguhnya ini selalu menjadi panduan bagi setiap orang dalam melakukan aktifitas sehari-harinya. Seperti pagi ini jarum pendek yang berada ditengah-tengah angka 6 dan 7, diikuti dengan jarum panjang secara tegas menunjuk angka 6, membuktikan bahwa pagi ini cuaca memang sangat cerah dengan cahaya kuning keemasan memulai hari indah. Dirasa semua sudah siap dengan perbekalan yang sudah dikemas dalam sebuah tas daypackeig*r, akhirnya pagi hari ini 28 Agustus 2013 kami berempat melanjutkan perjalanan, melangkah lebih dan lebih tinggi atas nama persahabatan. Semangat kakak ... !!!

Gunung merapi dengan ketinggian 2998 mdpl setahu saya mempunyai 3 jalur pendakian, via Selo Boyolali, Deles Klaten, dan Kinahrejo Sleman. Namun pasca erupsi yang terjadi pada tahun 2010 yang menewaskan Mbah Marijan selaku juru kunci gunung merapi tersebut, ternyata juga membawa dampak buruk bagi dua jalur pendakian untuk mencapai puncak merapi yaitu via Deles Klaten dan Kinahrejo Sleman. Kedua jalur pendakian tersebut rusak dan tidak bisa dilalui lagi oleh para pendaki karena terjangan awas panas atau wedhus gembel yang kala itu mengarah ke sebelah selatan gunung merapi. Selain itu pasca erupsi 2010 telah membentuk kawah yang sangat besar di puncak merapi hingga menghancurkan suatu puncak idaman yang telah melegenda di pucuk merapi, puncak garuda. Alhasil sekarang ini hanya tersisa satu jalur pendakian menuju puncak merapi, via Selo Boyolali sisi utara dari gunung merapi dengan puncak sisa-sisa erupsi 2010. Teman saya pernah berkata, “jika kamu bisa mencapai puncak merapi sebelum matahari terbit, kemungkinan besar kamu akan melihat kawah merapi dengan api yang menyala, atau bisa disebut lahar”. Namun sampai sekarang ini saya belum pernah menginjakkan kaki di puncak merapi sebelum matahari terbit karena setiap kali sampai di titik pos terakhir atau pasar bubrah lebih memilih untuk melihat sunrise dari pasar bubrah, antara 1 - 1,5 jam sebelum puncak. Sedangkan untuk summit attack lebih memilih dilakukan dikala matahari sudah bersinar sehingga dapat menunjukkan jalur dengan sangat jelas tanpa alat bantu penerangan. Untuk teman-teman ketahui bersama bahwa bentuk dari puncak merapi seluruhnya adalah batu dan pasir. Mulai dari batu-batu besar  yang bisa menggelinding suatu saat hingga pasir-pasir lembut yang sangat licin bagi langkah kaki kita. Bentuknya sama persis dengan puncak gunung semeru atau yang kita kenal sebagai mahameru. Bagi teman-teman yang sudah pernah melihat film 5cm pastilah sudah tahu bagaimana bentuk dari puncak gunung semeru hanya saja kalau di puncak gunung merapi ukurannya lebih kecil, kalau menurut hitungan kasar saya puncak gunung merapi ¼ dari puncak gunung semeru. Jadi bagi teman-teman yang punya mimpi untuk mendaki di gunung semeru, sangat saya sarankan untuk terlebih dahulu latihan di gunung merapi. Sekalian berkenalan dan merasakan jenis track yang nanti akan ditemui di gunung semeru supaya tidak kaget.

Kata orang gunung merapi itu kecil-kecil cabai rawit, walau kecil tetapi sangat menantang. Bagaimana tidak, dengan kondisi puncak yang semacam itu panas gersang tanpa pepohonan, hanya dipenuhi dengan batu-batu tajam yang tidak ada tempat datar. Ditambah lagi jalur pendakian sedari basecamp barameu sampai di pos terakhir atau pasar bubrah sama sekali tidak ada track datar, nanjak terus tak kenal kompromi. Ditambah lagi musim kemarau semacam ini, jalur berdebu dipenuhi kerikil yang sudah bersiap kapan saja menjegal langkah kita. Debu-debu yang berterbangan sangat mengganggu pernapasan dan membuat mata iritasi, sedangkan kerikil-kerikil kecil siap membuat langkah kita tergelincir atau terpeleset jika kehilangan fokus. Karena ada sedikit hambatan yang terjadi malam tadi memaksa kami harus mendaki gunung merapi disiang hari yang sangat panas ditemani terbangan debu dan sisa-sisa abu vulkanik dari letusan kecil beberapa saat yang lalu. Untungnya saya sudah mengintruksikan kepada teman-teman yang lain untuk membawa masker demi menutupi mulut dan hidung supaya terhindar dari kemungkinan untuk menghirup debu dan abu vulkanik. Terkhusus untuk saya pribadi, saya selalu membawa penutup kepala untuk menghindarkan debu dan abu vulkanik dari rambut saya yang panjang. Setiap langkah kaki yang kami ayunkan pastilah menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan untuk teman yang berada dibelakang karena kumpulan debu dan abu yang berterbangan segera saja mengganggu titik pandang. Mulailah berhati-hati dengan langkah demi menjaga teman lainnya atau kalaupun terpaksa memang harus jaga jarak supaya jangkauan dari debu dan abu tidak mengganggu. Beberapa saat jalan kami dihadapkan pada pertigaan yang membagi jalur menjadi 2, ambil kekiri adalah jalur kartini dengan tipe sedikit landai namun memutar sedangkan kalau kita tetap lurus akan menemui tanjakan-tanjakan yang hampir setinggi perut bahkan sampai sedada kita. Kedua jalur memisah tadi akan mempunyai titik temu di pos 1 jalur pendakian dengan ditandai adanya beberapa batu besar yang mempertemukan pertigaan jalan. Ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang sangat panas memaksa kita harus selalu menenggak air secara teratur demi menjaga tubuh kita dari ancaman dehidrasi, 5 botol air mineral besar kita persiapkan demi menjaga kondisi tubuh kita selain itu berbagai macam snack dan susu pun tak lupa juga kami bawa.

monyet di pos 1
Semua anggota team dalam kondisi yang 100% fit tentunya juga membawa dampak yang baik dalam pendakian kali ini, bagaimana tidak perjalanan yang sempat terhambat karena kesalahan teknis sudah berangsur-angsur lancar dan normal. Sesampainya kami di pos 1, betapa kagetnya saya ketika menemui seekor monyet yang sedang memperhatikan rombongan ini saat semuanya beristirahat. Inilah pengalaman pertama saya melihat seekor monyet liar didepan mata secara langsung. Cukup besar untuk seekor monyet yang ternyata mengikuti rombongan ini dengan cara melompat dari satu pohon ke pohon lain. Sejujurnya saya sedikit takut dengan kedatangan monyet itu, secara daerah ini adalah habitat aslinya, hutan luas tanpa batas. Bukan tidak mungkin jikalau si monyet sedang kelaparan bisa menyerang kami kapanpun tak terduga, tapi syukurlah tak ada gangguan dari monyet tersebut. Sempat berniat untuk memberinya sedikit makanan yang saya bawa, namun karena teman-teman yang lain melarang akhirnya saya urungkan niatan itu. Bukannya apa-apa Cuma ditakutkan setelah diberi makan monyet yang sendirian itu justru akan mengundang kedatangan teman-temannya yang kemungkinan besar akan merepotkan kami sendiri selama perjalanan nanti. Dengan track yang mulai berbatu dan panas matahari yang sangat terik menampar kulit, monyet tadi terus mengikuti rombongan ini sampai akhirnya terpisah dengan beberapa lemparan batu-batuan kecil yang cukup ampuh menakutinya. Setelah berhasil mengusir si monyet ketegangan yang tadi sempat kami rasakan ternyata juga secara perlahan ikut menghilang. Hingga tak terasa jalan berbatu terjal yang kami lewati dengan susah payah dan penuh kehati-hatian, membawa langkah ini untuk menginjakkan kaki di pos 2. Ditandai dengan adanya tiang setinggi 1 meter yang terbuat dari beton, seakan membawa angin segar buat kami yang telah bergulat dengan peluh untuk meloloskan diri dari track batuan. Semenjak dari pos 1 tadi moyaritas jalur untuk berpindah ke pos 2 adalah tanjakan curam dengan batuan-batuan goyah yang pasti bergerak jikalau terpijak. Bukan hanya 1 atau 2 batu, melainkan puluhan bahkan ratusan bebatuan sebesar bola tenis atau lebih. Tak sekadar fisik kuat dan fokus tinggi yang harus kita kuasai namun perlengkapan pendukung dalam pendakian juga harus dimiliki. Sepatu atau sandal yang kokoh dengan alas yang tidak licin saat menginjak bebatuan adalah faktor pendukung lain untuk memperlanjar perjalanan kali ini selain fisik dan fokus yang baik. 


calm
let me "teropong" you Merbabu
#3
Cuaca yang sangat cerah dengan sinar matahari yang sepenuh hati menarik perhatian kami untuk sejenak berhenti demi berfoto dengan view yang begitu indah. Diatas batuan yang sangat besar sepanjang track menuju pos 2, kami berempat bergantian untuk saling berfoto dengan gaya dan pose terbaik. Tak cukup hanya sekali tapi beberapa jepretan kamera memanglah wajib untuk di tunaikan, mengingat pemandangan yang memang luar biasa indah dibarengi dengan sinar matahari pemberi energi. Beberapa gaya berfoto dengan ciri membelakangi kamera dan menatap tajam gunung merbabu, nampaknya adalah pose terfavorit. Ditambah lagi dengan teropong yang kami bawa, rasa-rasanya gaya kami berfoto kali ini kian sempurna, jika dikonversi setara dengan kelas fotografer dan model amatiran. Tapi tak apa, kami bukanlah fotografer atapun model majalah petualangan cukup wajar kiranya jika hasilnya tak sesempurna seperti ekspektasi dari ilmu fotografi. Kegiatan yang kami lakukan ini tetap berlanjut sampai menemukan sebuah tempat yang sedikit teduh 30 menit sebelum pos terakhir atau pasar bubrah. Tetap bersemangat selama perjalanan walau jalannya sangat dan begitu menantang, tetapi juga tidak pernah kelupaan untuk selalu mengabadikan setiap titik-titik potensial dalam bingkai layar kamera.

Semua yang sudah kami lakukan sampai sejauh ini serasa berbanding terbalik dengan beberapa jam yang lalu. Dimana beberapa jam yang lalu dengan cuaca yang bersahabat dan track yang masih wajar tetapi kami semua berasa pincang dalam perjalanan, tetapi siang hari ini dengan track yang luar biasa ganas penuh tanjakan terjal yang diimbangi dengan bebatuan kecam nyatanya perjalanan kali ini justru terasa lebih baik dan lebih lancar. Dengan kadar kualitas semangat penuh juang yang sudah jauh berbeda kami berempat semakin kompak dalam meneruskan langkah, tak pernah goyah, dan tetap termotivasi oleh mimpi-mimpi di tanah tertinggi gunung merapi. Bagi kedua teman kami, ini adalah salah satu hal penting dalam hidup mereka. Salah satu sejarah yang bisa mereka ciptakan demi bekal dihari depan, bahwa masih ada wanita-wanita (baca: Yassinta dan Suci) dengan semangat juang tinggi dan rela keluar dari keseharian mereka yang sudah nyaman, ya berani keluar dari comfort zone hanya demi sebuah pengalaman baru yang tidak akan pernah bisa untuk dilupakan, pengalaman baru yang penuh juang bersama kawan-kawan seperjuangan. Saya percaya jika setiap orang pasti punya keterbatasan dalam hidup mereka, bukan bermaksud untuk mengeneralisasikan namun sebagian besar dari perempuan mempunyai fisik atau tenaga yang masih dibawah dari kebanyakan pria. Sebagian besar dari mereka selalu minder atau mudah berputus asa jika harus berhadapan dengan aktifitas yang melibatkan fisik. Mungkin dengan alasan, “aku kan cewek jadi wajar dong”, “gak mau ah, takut keringatan nanti bau dong”, klasik memang tetapi itulah yang sering terjadi disekitar kita. Tidak perlu jauh-jauh deh, coba teman-teman ingat kembali sewaktu SMP atau SMA ketika jam olahraga tiba dan guru olahraga meminta semua murid untuk berlari memutari lapangan, teman-teman pasti bisa memperhatikan apa yang mayoritas teman-teman perempuan lakukan ??? Tetapi apa yang terjadi disini adalah sebuah kisah perjuangan luar biasa, walaupun sudah berpeluh dengan keringat dan fisik yang melemas ditambah dengan kejadian semalam, tekad kuat dari Suci sudah bisa menembus semua keterbatasan yang dia miliki. Sikap mental yang tangguh ternyata mengalahkan segala keluhan fisik yang sebenarnya belum menemui batasnya. Disini Suci membuktikan bahwa dia mampu untuk menembus batas, mampu mengalahkan kemanjaan dalam fisiknya dengan perlawanan dan tekad kuat dari sikap mentalnya. Yeah ... Break Your Limits !!! 
 
Suci kecil. #hahaha
isn't about gender

Sebagai kawan yang bisa kami bertiga lakukan hanyalah memberikan motivasi demi membakar semangat juang. Jika ditanya apakah kami capai, dengan tegas kami jawab, ya!  Tetapi jauh lebih penting dari hanya sebuah jawaban apakah capai atau tidak adalah, kami harus bisa menempatkan diri sebagai sosok yang bisa Suci percaya. Dia sudah kacau, jika harus ditambah dengan melihat kondisi kita yang juga terlihat kacau, pastilah didalam dirinya tidak akan termotivasi karena tidak menemukan sosok yang bisa menenangkan psikisnya. Maka dari itu secapai apapun kita, di depan teman yang sedang membutuhkan motivasi demi membangkitkan semangat juang, kita harus terlihat segar dan tetap tenang dalam menghadapi susuatu. Sikap mental kita akan mempengaruhi pola pikir anggota team yang lain, jika terus bersikap tenang dan tak mudah mengeluh akan keadaan, saya yakin hal yang demikian ini akan bisa mentransfer energi positif ke anggota team yang lain. Sekali lagi saya tegaskan, “if I can, yes ... you can”!!! Bukan gender yang membedakan keberhasilan kita (baca: mendaki gunung) tetapi mental dan semangat juang. Tidak peduli kamu laki-laki atau perempuan, bertenaga atau tidak, dewasa atau belia, selama sikap mental kamu positif rasa-rasanya tidak ada alasan untuk mundur sebelum tercapai puncak idaman.

Pasar Bubrah (Lembah Kekejaman)

Watu gajah adalah deretan dan tumpukan batuan yang sangat besar sebelum mencapai pos terakhir jalur pendakian gunung merapi yaitu pasar bubrah. Mulai dari titik ini, track yang akan kita lalui kedepannya hanyalah bebatuan terjal tanpa ada pepohonan. Jangan berharap kita bisa menemui pepohonan untuk berteduh atau sekadar melepas lelah, karena semua itu bagai fatamorgana dibawah terpaan sinar matahari yang sedang memuncak. Ya, kami berempat berdiri di tempat ini tepat jam 10.30 ketika melihat sebuah monumen kenangan seorang pendaki yang berpuluh tahun lalu gugur ketika berusaha mendaki puncak merapi. Achmad Al Habsji, Paulus Haryo Sulaksono dan Arseno menghembuskan nafas terakhir mereka dalam rangkaian pendakian pada tanggal 1-3 Maret 1977. Mereka bertiga adalah anggota dari organisasi Pelajar Pecinta Alam SMA N 4 Yogyakarta atau patbhe, senior dari 2 orang yang tadi meninggalkan jam dinding di basecamp barameru. Kita do’akan semoga amal kebaikan mereka diterima oleh Tuhan YME dan ditempatkan disisi terbaiknya. Sebuah tanda bahwa gunung merapi bukanlah gunung yang ramah untuk pendakinya, rasanya sudah sangat jelas tergambarkan jika diperhatikan bentuk puncak merapi dari pasar bubrah. Area yang sangat luas dengan ribuan atau bahkan jutaan bebatuan bervariasi dari pasir lembut sampai batu besar tajam berantakan menyebar. Disamping monumen kenangan yang sengaja dibangun oleh PEPALA patbhe, berdiri sebuah tiang bendera dengan merah putih yang sedang berkibar. Seingat saya pada tanggal 17 Agustus 2013 kemarin waktu digelar upacara kemerdekaan, letak dari tiang bendera tersebut berada di tengah-tengah lapangan pasar bubrah, berdiri dengan lapisan  cor semen sebagai penyangga tetapi ketika saya kembali lagi ketempat ini ternyata tiang bendera sudah dipindahkan disamping monumen kenangan. Atau mungkin juga dari PEPALA patbhe yang sengaja memindahkan karena jika dilihat dari bentuk monumen yang masih basah, semacam pasca renovasi. Padahal waktu upacara kemerdekaan RI yang ke 68 kemarin bentuk monumen kenangan belum serapi seperti sekarang ini. Ketika sedang beristirahat minum sambil sedikit mengeluarkan snack yang sudah kami bawa, tiba-tiba terdengar suara dengan nada kalimat perintah halus. 
100% fit
 
berasa orasi ...
PEPALA patbhe




coba menenangkannya ...
few of the track
respect!!!
Suci : “Mas, tolong fotokan”. Pinta suci yang sedang menempatkan diri untuk mencari posisi terbaik dalam frame nya.
Nanda : “Yo, kono gek mapan”. Sepontan balas nanda yang kebetulan memang sedang memegang kamera. Dengan gerakan dan keahliannya dia mulai mencari angle terbaik demi menghasilkan karya terbaik pula dari tangan dinginnya. (baca: ya, sana segera menempatkan diri)
Suci : “Meneh, mas”. Seru Suci yang merasa belum cukup dengan 1 jepretan yang sudah dihasilkan, sambil terus berganti gaya tanpa kembali memberi instruksi. Dan tanpa membalas seru dari Suci, Nanda pun dengan tekun juga tetap memberikan yang terbaik dengan kamera di tangannya. (baca: lagi, mas)

Disaat Suci, Nanda dan Saya sedang asyik berfoto ternyata Yassinta sedang duduk sendiri dibalik monumen kenangan dengan teropong di depan kedua matanya. Nampaknya dia sedang asyik dengan jarak pandang yang mulai mendekat dari balik teropong tersebut, terbukti dia tak menghiraukan sesi foto yang sedang kami jalani. Berniat untuk mengganggu keseriusannya tiba-tiba dia bergumam,

Yassinta : “Astaga ... susahnya”. Gumamnya sambil terus fokus dan tetap tenang dengan teropong canggih itu. Jika dilihat dari bentuk, fungsi dan merknya, saya yakin harganya mahal.
Me : “Kenapa, juk”? Sahut saya sedikit kaget karena memang saya sebenarnya akan secara perlahan mengganggu konsentrasinya.
Yassinta : “Itu pak”. Balasnya singkat tanpa menoleh ke saya sambil tangan kirinya menunjuk ke arah depan yang kelihatannya tertuju pada titik-titik kecil jauh di depan sana. “Kok harus terpeleset terus. Kok terkadang jalannya benar-benar merangkak. Kayaknya licin deh”? lanjutnya tetap dalam diam dengan penuh tanda tanya yang belum terjawab sedari tadi dia bertanya. Saya yang mulai nyambung dengan apa yang jujuk bicarakan, mulai perlahan menjelaskan.
Me : “Oh ... itu. Tenang saja bukan apa-apa, tidak masalah juk, take easy”. Coba menenangkan pikirannya sambil duduk disampingnya. “Jalurnya memang semacam itu penuh dengan pasir-pasir lembut, kerikil-kerikil tajam, bahkan bebatuan sebesar bola tenis atau lebih. Tapi jangan khawatir kita tidak akan menerjang tumpukan batu super besar itu melalui tengahnya, kita akan melewatinya sedikit memutar kekiri untuk menghindari pasir-pasir yang mereka lalui”. Sambil terus menjelaskan, jujuk tetap memandangi pendaki jauh di depan sana yang sedang sangat kesusahan untuk meneruskan langkahnya. Betapa tidak dengan 3 ayunan yang kita lakukan, 1 atau 2 langkah akan kembali ke belakang karena memang kita berjalan melewati pasir-pasir lembut bercampur kerikil-kerikil tajam. Tak jarang juga ketika kita sudah susah untuk berdiri, merangkak dengan kedua tangan adalah pilihan terbaik yang bisa kita lakukan untuk terus bisa bertahan di tengah-tengah keputus asaan.
Yassinta : “Lha, terus aku nanti gimana”? Selanya dengan raut wajah yang sedikit mengharapkan belas kasihan, seakan belum percaya dengan apa yang tadi dilihatnya dibalik lensa teropong. “Bisa apa aku nanti, itu aja ada mbak-mbaknya yang hanya duduk diam karena sudah tidak bisa bergerak lagi. Tadi sempat aku lihat dia terpeleset dan hampir berguling kebawah, untungnya ada rombongan di belakangnya yang masih bisa menahan”. Sambungnya dengan nada bicara yang semakin memelan.
Me : “Hahaha ... Santai to juk, kita nanti gak lewat jalur mereka. Kita akan melewati jalur yang jauh lebih mudah dan aman walaupun sedikit memutar. Gak seperti mereka jalur yang akan ki lalui, coba lihat ke depan sebelah kiri. Nah ... kita akan sedikit memutar kekiri melewati balik dari pasir-pasir tersebut, bukannya malah menerjangnya”. Papar saya santai dengan senyuman karena tak tahan melihat kekhawatiran bercampur ketakutan yang sangat jelas terlukis di wajah jujuk. “Udah sini gantian teropongnya”. Pinta saya secepat kilat dengan maksud dia tidak terpaku melihat ke atas yang justru membuatnya parno. Sungguh pemandangan yang sangat ganas, luar biasa garang nan menantang. Inilah pendakian yang sesungguhnya akan segera dimulai, keganasan merapi sudah mulai terkuak. Hanya dengan kejauhan sudah akan menurunkan mental para pendaki yang tidak cukup berani untuk mendaki. Di antara celah-celah bebatuan besar nan jauh di depan sana terdapat beberapa hembusan asap yang sedari tadi tak pernah berhenti. Itulah yang dinamakan hembusan asap belerang, bau nya yang menusuk hidung memaksa kami harus memakai masker jika jarak sudah semakin dekat. 
 
susahnya medan


membelah pasar bubrah

ganas memang

           Di area pasar bubrah yang maha luas ini, manusia bukanlah apa-apa. Tidak bisa dibandingkan dan tak akan pernah sebanding dengan luas dan salam sapa nya yang begitu kasar kepada para pendaki. “Keberanian terbesar bukanlah berani mati, tetapi berani bertahan hidup”. Sangat mudah jika kita ingin mati disini, tinggal lompat ke tebing dan semua berakhir. Tetapi jiwa seorang pendaki gunung bukanlah bermental tempe, pendaki mempunyai mental baja yang selalu terasah setiap kali berjuang dalam mencari keindahan yang hakiki, keindahan yang benar-benar diciptakan oleh Tuhan. Tak mudah memang, tapi itu semua adalah pilihan. Jalan hidup seorang yang punya hobi mendaki gunung. Makadari itu disini bukanlah tempat kita untuk menyerah, disinilah titik dimana kita harus bangkit benar-benar berjuang dan mulai sadar bahwa manusia itu ciptaan Tuhan yang maha sempurna. Walaupun ditempat ini kita semua kecil, tetapi percayalah mental kita jauh lebih besar dari pada gunung itu, jika mau percaya pada-Nya. Namun percaya bukanlah kesombongan, sekali kita merasa sombong bukan tidak mungkin itu semua menjadi petaka buat kita. Orang yang sombong selalu menempatkan pola pikirnya dengan menganggap semua hal itu mudah. Tetapi orang yang percaya akan mendapatkan kemudahan, bukan menganggap mudah. “No need to be arrogant cause we are nothing here”. FYI, nama lain dari pasar bubrah adalah pasar setan. Tahu gak kenapa pasar setan, ada kata pasar dan ada kata setan. Berarti maksudnya adalah ... ??? hahaha ...

Summit Attack of Merapi

Sedari awal pendakian sampai sekarang berdiri di titik ini posisi Nanda selalu saya tempatkan di paling belakang sebagai sweeper. Sedangkan saya didepan dengan diikuti kedua anggota cewek, saya bertugas untuk mencari jalan yang kemudian akan dilanjutkan oleh teman-teman di belakang. Maka dari itu saya harus selalu mencari jalan terbaik dan termudah untuk meyakinkan teman-teman yang mengikuti jalan ini akan aman. Salah satu pencarian jalan terpenting selama mendaki gunung merapi adalah memilih jalan terbaik untuk menuju puncak dari campsite terkahir. Jika kita salah memilih jalur ditempat ini, bukan tidak mungkin itu semua akan menjadi boomerang tersendiri buat kita. Sebagai pioneer saya harus memastikan jalan yang sudah dipilih adalah jalan yang benar dan tidak berpotensi menyusahkan. Berjalan membelah lembah bebatuan tajam yang luas sampai akhirnya mengantarkan kami disebelah kiri track puncak merapi. Jalan itulah yang akhirnya kami pilih untuk mencapai puncak merapi. Setelah melalui 10 menit awal dengan jalan datar, mulailah kita akan berjuang dengan keras untuk yang selanjutnya. Tumpukan bebatuan rapuh yang terpaksa harus kita lalui menjadi salah satu jalan pembuka yang akan mengarah pada track seterusnya yang semakin menanjak melewati pasir-pasir licin. Baru 3 langkah kaki ini mengayun ternyata longsoran kerikil-kerikil kecil sudah terlihat nyata di depan mata, seolah sebuah pertanda bahwa perjalanan terakhir inilah yang memang benar-benar menyusahkan. Beberapa saat bertempur dengan peluh track pembuka yang cukup menguras tenaga, sampailah kaki ini di jalur yang hanya dipenuhi batu. Namun bukan kerikil yang dihadapi, melainkan batu-batu besar yang harus dipanjat. Batu-batu yang setiap saat bisa menggelinding dengan ganasnya dari atas ke bawah, tanpa kewaspadaan dan kehati-hatian bukan tidak mungkin langkah kita ini mengancam nyawa orang lain. Coba teman-teman bayangkan jika ada batu sebesar bola tenis menggelinding dari atas, jika batu tersebut mengenai tangan kemungkinan besar dengan mudah tangan kita akan patah atau paling tidak cidera parah. Pasalnya jalur yang dilalui kali ini mempunyai sudut kemiringan hampir 45 0 dengan kata lain ketika kita menemui tanjakan, lutut bisa bertemu dengan wajah. Itu jikalau batu hanya terkena tangan kita, bagaimana kalau batu yang menggelinding dengan kecepatan penuh ini terkena kepala para pendaki lain dibawah kita ??? Apapun bisa terjadi di tempat ini jika salah satu pihak kehilangan kontrol akan langkahnya !!!So ... Please, for everyone pay more attention with your steps. Jangan lupa juga untuk memberikan peringatan kepada teman-teman pendaki lain yang ada dibawah dengan teriakan sekeras mungkin kalau memang ada batu yang meluncur kebawah. Untunglah siang hari ini tidak ada pendaki lain yang melewati jalur ini, hanya 2 rombongan yang mendaki puncak merapi. Satu rombongan di depan kita namun berbeda jalur, sedangkan rombongan yang satunya adalah kami. Sehingga kami merasa benar-benar beruntung bisa menikmati puncak merapi dengan suasana yang sepi. Selain itu juga mengurangi resiko membahayakan nyawa orang lain, karena memang tidak ada pendaki yang melewati track ini kecuali kami.Tak cukup hanya dengan menggunakan kedua kaki untuk melewati jalur ekstrim ini, kedua tanganpun harus dengan aktif dilibatkan untuk memastikan batu sebagai titik pijakan, aman. Cengkraman tangan yang kuat serta pijakan yang kokoh adalah kunci utama bagi kita untuk meminimalkan kemugkinan cidera. “you can cause you think, you can”.

benar-benar ini jalannya

satu rombongan lain menemani kita
garis kecil dibawah adalah pasar bubrah
crater behind the top
Setelah berjuang dengan sepenuh tenaga dan fokus yang tak pernah hilang dari pikiran, terlihatlah sepetak bebatuan yang cukup datar memanjang sebagai pertanda bahwa itulah titik tujuan. Teringat beberapa jam yang lalu dimana kita sedang bersusah payah membangun kekompakan, jatuh bangun karena tanjakan, gontai tak berdaya karena kelaparan, hingga akhirnya kita menapakkan kaki ini di titik tertinggi puncak merapi. Seakan Tuhan merestui langkah ini, gumpalan awan putih tebal pun menyertai ketika kami berhasil mencapai puncak tertinggi. Negeri di atas awan, sungguh sangat dekat sekali hingga rasanya begitu mudah untuk bersentuhan langsung dengan awan. Tak mudah jika harus diterjemahkan kedalam bahasa karena apa yang kami lihat benar-benar menunjukan kuasa-Nya. Keindahan yang luar biasa sempurna untuk bisa dinikmati oleh seorang anak manusia, suasana yang membuat kita berasa lebih dekat bahkan berdialog dengan Tuhan. “Terkadang untuk bisa lebih bersyukur, kita harus datang lebih dekat kepada Tuhan”. Sebagai manusia yang tidak lebih besar dari debu di alam raya ini, alangkah mulianya jika kita bisa terus bersyukur akan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita semua sampai detik ini. “Keindahan bukanlah apa yang kita lihat ataupun dengarkan, melainkan apa yang kita rasakan”. Untuk bisa menikmati semua keindahan ini, akan jauh lebih berarti jika kita menggunakan hati daripada mata ataupun telinga. Tanpa ada gangguan tanpa ada kebisingan yang ada hanya ketenangan, sungguh waktu yang sangat tepat untuk bisa menikmati keindahan hidup yang hakiki.


Demi matahari dan cahayanya di pagi hari ...
Demi bulan apabila mengiringi ...
Demi siang apabila menampakkan ...
Demi malam apabila menutupi ...
Demi langit dan pembinaannya ...
Demi bumi dan penghamparannya ...
Dan demi jiwa serta penyempurnaannya ...

Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Allahu Akbar ... Puncak !!! Puncak !!! Puncak !!!

Bukan saya, Nanda ataupun Yassinta yang memimpin rombongan ini untuk menginjakkan kaki di puncak merapi, melainkan adalah Suci. Dengan perjuangan yang tak kenal lelah, semangat bermental baja, motivasi tinggi, tekad yang benar-benar bulat, sampailah kita semua di puncak tertinggi gunung merapi dengan dipimpin secara langsung oleh Suci. Tak melepaskan tangan dan tetap terus bergandengan itulah yang kami berempat lakukan sebagai bukti bahwa persahabatan kita akan selalu diperjuangkan dengan segala macam cara. Persahabatan adalah segalanya, jauh diatas nama apapun. Sahabat ... !!!

Satu lagi keberhasilan yang dapat kami ukir bersama atas nama persahabatan, namun jauh lebih bermakna daripada itu semua adalah hal yang kita lakukan kali ini bukanlah untuk menaklukan puncak tertinggi merapi tetapi kita semua belajar untuk saling mengerti, saling berbagi, saling toleransi, saling mengasihi, karena kita harus menaklukan diri kita sendiri dari serangan penyakit egoisme. Kita harus selalu mengingat fitrah kita sebagai anak manusia, makhluk sosial !!! Petualangan hebat bersama kawan-kawan terhebat !!! Salam ... !!! 

women ranger

me

see the crater

beautiful
team

sea of clouds

cool

no need to be arrogant

stones

hasil dari perjuangan

Epiog (saduran novel 2)

Saya bermimpi besar, dan saya mempercayainya, melakukan penciptaan imajinasi yang luar biasa sebagai seorang manusia. Hidup dengan impian yang bermakna, tetapi sedikit pun saya tidak bekerja keras untuk impian saya. Saya hanyalah pembual nomor satu bagi diri saya sendiri.
Saya bekerja keras, setiap hari dengan peluh, luka dan lelah yang terus ada, tetapi tanpa imipian yang membakar setiap langkah saya, nafas dan penglihatan saya ... bergerak lelah, berkeringat tanpa makna..., saya hanyalah pembual nomor satu bagi dunia.

Nafas terus berpacu didalam tubuh juang Yassinta Aulia, Febrina Suci Wulandari dan Giananda Saktika Nugraha, kembali seraut wajah tertunduk melihat kebawahnya, langkah kaki yang semakin cepat dan semakin cepat, di atas jalur pendakian, peluh yang terus membanjiri tubuhnya.

Karena segala sesuatu ...
... diciptakan
2
Kali ...

Dalam dunia imajinasi dan dalam dunia nyata.
Dengan kerja keras, tinggalkan bukti di dunia nyata bahwa impianmu, ada. Bersama alam bawah sadarmu kamu bermimpi, bersama alam sadarmu kamu berjuang.

Karena manusia bisa, ia ada untuk bisa.
Karena tidak ada sangkal dan bukan tanpa alasan berabad-abad lewat. Impian dan kerja keras menjadi kenyataan. Terlahir dari manusia ... makhluk Tuhan dengan segala keterbatasannya, makhluk Tuhan dengan hidupnya yang tidak pernah sempurna.

Karena berabad lewat semenjak ia ada di muka bumi ini manusia bisa; manusia melakukannya. Percaya bahwa sesuatu yang tidak mungkin adalah mungkin, manusia bisa, membuat sesuatu yang luar biasa terjadi, kalau manusia tidak mempercayainya, apa yang ia temukan sebagai seorang manusia? Pertanyaannya yang lebih besar lagi, apakah kita benar-benar seorang manusia?

Pun berabad-abad tak ada yang menyangkal, manusia meninggalkan bukti di dunia nyata atas impian dan kerja kerasnya menjadi inspirasi untuk manusia lain.
Bahwa keajaiban itu ada.

Datang di dunia imajinasi bersama pikiran, impian yang bahkan lebih hebat dari ilmu pengetahuan, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
Datang di dunia nyata bersama perjuangan dan kerja keras manusia ... certamen ergo sum. Aku berjuang maka aku ada.

Manusia layaknya percaya ia hidup karenanya, ia adauntuk percaya bahwa ia bisa melakukan sesuatu yang luar biasa untuk dirinya. Bahwa dibalik keterbatasan dan ketidaksempurnaan hidup, setiap diri ini adalah kekuatan yang tidak pernah sedikit pun diremehkan oleh Sang Pencipta.

Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang anak manusia, karena Tuhan tak pernah sedikitpun.

Segala sesuatu diciptakan 2 kali.

Yassinta Aulia, Febrina Suci Wulandari dan Giananda Saktika Nugraha tertunduk untuk melihat tubuh kumalnya. Malam tadi, pagi tadi, berjuang dengan sekeras tenaga atas nama persahabatan. Siang ini mereka benar-benar menguatkan perjuangannya.

Manusia dengan hidup yang tidak sempurna itu terus mendaki, dan mendaki hingga tertegun menatap langit biru siang ini di atasnya. Pelan mereka meresapi bening juang yang menumpuk di sudut matanya. Ya ... Keindahan adalah untuk dirasakan.Seperti hidup yang tidak sempurna. Kamu janji ... kamu tidak akan pernah menyerah.

Cintai impianmu
Cintai kerja kerasmu
Cintai hidupmu dengan berani, jangan menyerah dan jangan pernah berputus asa.



6 komentar:

  1. merapi oh merapi, kapan aku bisa menemuimu...

    BalasHapus
  2. ayolah gan ... coba ke merapi hehe.. mantap !!!

    BalasHapus
  3. perjalanannya seru, fotonya keren...jadi pengen ke merapi lagi nih kk

    BalasHapus
  4. Nice story. good job for have that journey.
    it was my dream, climb with him. But it can't be now.

    BalasHapus