Laman

Sabtu, 29 November 2014

Malam ‘sakral’ Demi Sumpah Kesetiaan


Oleh : Irkham Zamzuri
    
       Jika kami semua (kader atau pernah kader) yang hadir pada malam hari ini ditanya satu per satu, maka dengan penuh semangat saya lantang menjawab. Apakah senang ? Pasti ! Tidak bermaksud untuk menjadi orang muna tapi tujuan saya bertahan dalam perang setahun kebelakang ialah berdiri di malam ini. Sedih? Pasti ! Bermula dari puluhan kolega, hanya beberapa yang akhirnya bisa berlari sampai batas henti. Mereka-mereka yang lain gugur di medan perang, ada yang menyerah sebelum berulah, ‘virus’an di tengah jalur pendakian, bahkan sebagian ‘mati’ karena kami ‘bunuh’ sendiri. Di tempat dengan riwayat yang katanya indah ini, asas kekeluargaan ditanamkan untuk dapat memaknai arti sahabat sejati. Tapi disini pula, kami harus menepikan rasa, mencoba untuk tega, memilah-milah calon anggota keluarga. Kata pepatah seburuk-buruknya orang tua, dia tetap bapak ibu kita. Tak pantas untuk tidak mengakui keberadaannya. Namun, di lembaga ini ungkapan tersebut terbantahkan, belajar dua hal berbeda dalam kurun waktu yang sama, mempercayai sekaligus mengkhianati.

MALAM ITU KAMI DISANA

“Kenapa kaubawa aku kemari, saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam.
Bayang-bayang di sudut peron, menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya melompat, merapat ke sepi. Barangkali saja

Kami sedang menanti kereta yang biasa tiba, setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda; Barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini, ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti;

Hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba;
Sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara, sementara bayang-bayang putih di seluruh ruangan, “Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku kemari?”
(1970) Sapardi Djoko Damono


       Teman-teman (pengurus atau demisioner ) didik kami tentang, apa itu bekerja dengan hati ? Didik kami tentang, apa itu organisasi ? Didik kami tentang, apa itu KEADILAN ? Pramoedya Ananta Toer pernah bertutur menulis adalah bekerja untuk menjadi kekal. Seseorang yang sudah meninggal duniapun, masih bisa menginspirasi berkat goresan tinta keabadian. Jika Ariel Peterpen pernah berkata, “tak ada yang abadi” maka di rumah ini hal itu tak punya arti. Bimbing kami dengan sepenuh hati. Padukan langkah kami. Tegur, jika kami disorientasi. Sekarang kami datang, terimalah bukan sebagai junior ke senior. Anggaplah kami sebagai bala bantuan yang akan membantu rencana kerja kepengurusan.

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detikdemi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari, kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita Abadi.
(1978) Sapardi Djoko Damono

       Dalam pidatonya yang disampaikan ketika pelantikan pengurus LPM KEADILAN masa bakti 2013/ 2014, Jefrei Kurniadi berpesan, “kuatkan pendengaran”. Urutannya adalah telinga, mata dan yang terakhir adalah mulut. Apa maksud dari semua itu, telinga adalah sumber utama untuk mematangkan isu, mengumpulkan bermacam informasi, lantas mencerna dengan hati. Mata dan Mulut sebatas komplemen belaka yang hanya akan bekerja ketika telinga sudah cukup mengumpulkan data dan fakta. Pekerjaan rumah yang teramat berat, namun kami tetap akan datang dengan kapasitas yang seimbang.

TELINGA

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila : ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apapun secara terperinci, setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara.

“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya, apa pun yang dibisikannya kepada diri sendiri.
(1982) Sapardi Djoko Damono

       Bawa kami untuk mencintai KEADILAN. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Ya, sederhana saja. Sesederhana makna cinta.

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, Keadilan.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan,
Kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, Keadilan.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan,
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(1989) Sapardi Djoko Damono


*Untuk kalian semua yang mungkin sedang malas dengan berbagai macam aktivitas, atau bosan menghadapi rutinitas, mari sejenak kita bersama-sama merenungi, kenapa kita bertahan sejauh ini dan dimana kita berdiri ? Salam wani teros !!! Karena mundur adalah tanda khianat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar