Laman

Rabu, 05 Juni 2013

Dewa dan Kerbau Pendidikan


“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” (Soe Hok Gie)

        Sebuah kutipan argumentasi dari catatan seorang demonstran (era 60an) yang terkenal dengan idealisme nya yang kritis, kritis melawan kemunafikan, kritis melawan ketidakadilan, dan kritis melawan penindasan pada masanya. Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, salah seorang sosok yang menginspirasi saya, seorang kakak yang tak pernah bertemu secara nyata, tapi selalu bertemu dalam catatan tak bernyawa.

       Bukan tanpa alasan Soe Hok Gie berbicara demikian waktu itu ia merasa ada sesuatu yang salah terhadap gurunya. Kala itu banyak guru yang merasa paling jago, merasa guru paling pintar. Sama halnya seperti Gie, saya menulis catatan  ini bukan tanpa alasan tulisan ini adalah fase klimaks kegelisahan saya melihat kondusifitas sistem pendidikan di sekitar kita. Betapa panasnya telinga saya ketika mendengar informasi, masih banyak oknum tenaga pengajar dari mulai jenjang dasar, menengah, bahkan perguruan tinggi, yang merasa dirinya ‘dewa’, dan merasa anak didik nya (siswa) adalah ‘kerbau’. Di era pendidikan modern dewasa ini guru tidak sebatas sebagai tenaga pengajar tetapi harus menjadikan dirinya pada tingkatan pendidik. Bukan menjadi narasumber pokok pada kegiatan belajar mengajar, hanya sebatas pada tingkatan fasilitator. Guru harus bisa mendampingi anak didik nya dengan sepenuh hati, setulus kasih, bagai mendidik putra-putri mereka. Mendampingi mereka, mendidik dalam dua sisi antara mentalitas keilmuan dan keimanan. Sehingga tujuan sejati dari profesi ini terpenuhi.


       Memberikan peserta didik kesempatan untuk mengembangkan cara berpikir memang tugas pokok, tetapi itu semua harus di imbangi dengan pembangunan karakter yang tangguh sedari diri. Cara-cara yang di terapkan pun tidak boleh hanya menggunakan sistem searah, artinya jangan sampai mematikan daya kreatif siswa untuk berkembang. Berikan kesempatan yang maksimal bagi siswa didik untuk berargumentasi dan guru sebagai fasilitator harus selalu memberikan penguatan kepada setiap siswa didiknya dengan menanggapi setiap argumen tanpa pernah menyalahkan siswa karena hal ini akan mempengaruhi pola berpikir siswa didik menjadi negatif. Maka dari itu jangan sampai kita membunuh kesempatan generasi bangsa untuk berkembang. Ingat, guru bukan “dewa” dan siswa “kerbau”. Guru adalah pendidik bukan pengajar ataupun penuntun, sedangkan siswa bukan hewan peliharaan yang harus selalu mengikuti majikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar