Laman

Sabtu, 18 Mei 2013

Kejanggalan Film 5 Cm.


     Masih sangat jelas menempel di kepala saya, 30 Oktober 2012 bertempat di UMY Yogyakarta. Saya beserta satu teman anggavisca.blogspot.com menghadiri sebuah roadshow dalam rangka promosi Film 5 Cm oleh Ram soraya. Saya memang salah satu penggemar fanatik dari novel best seller karya Donny Dhirgantoro itu jauh sebelum novel tersebut gencar diberitakan akan dibuat sebuah film. Bahkan, ketika dahulu saya baru pertama kali membeli novel ini di salah satu toko buku yang ada di Jogja saya baca hanya dalam kurun waktu kurang dari 12 jam. Harus saya akui tidak ada celah dari novel yang telah dicetak lebih dari 25 kali sejak pertama kali terbit tahun 2005 silam. Menarik, cerdas, humoris serta menantang itulah beberapa kriteria untuk menggambarkan bagaimana seorang Donny menggoreskan tinta emas dalam karyanya. 



      Kecintaan saya terhadap novel ini bertambah besar manakala pada tanggal 30 Oktober 2012 yang lalu ketika saya hadir dalam roadshow film 5 Cm, saya mendapat sebuah doorprize berupa sebuah kaos 5cm langsung ditunjuk dan diberikan oleh Pevita Pearce pemeran Dinda dalam film. Sedangkan teman saya berhasil mendapat sebuah novel 5 Cm cetakan terakhir langsung dari Pevita Pearce lengkap dengan tanda tangan dan lebih beruntung lagi teman saya langsung ditarik oleh Pevita Pearce dari tempat duduknya. Sejak saat itu, saya menjadi begitu bangga akan 5 Cm. Sebuah kaos dan novel yang dapat kita banggakan kepada kawan-kawan sembari menunggu film 5 Cm tayang perdana pada 12 12 12.


     TAPI, ...!!! Dunia seolah berhenti setelah film 5 Cm tayang dan berbagai berita di media massa terkait proses pembuatan film tersebut beserta dampaknya terhadap alam Semeru dan dunia pendakian gunung Indonesia. 

       5 Centimeter lagi setelah film 5 Cm yang Anda harus tahu. 5 Cm langkahkan pengetahuan anda tentang proses pembuatan atau syuting film tersebut di tengah hutan rimba  Gunung Semeru, gunung yang di rindukan sekaligus dicintai oleh para pendaki gunung di Indonesia bahkan dunia. Ada apa dalam proses pembuatan film 5 Cm tersebut?


      Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Pevita Pearce, Igor Saykoji, dan Denny Sumargo tiba - tiba saja menjadi idola di kalangan anak - anak pendaki gunung. Melalui peran mereka lewat film garapan Rizal Mantovani yang diproduseri oleh Sunil Soraya ternyata juga mampu menggairahkan dunia pendakian gunung di Indonesia.

     Diangkat dari novel best seller karya Donny Dhirgantoro yang berjudul 5 Cm film layar lebar ini diberi judul yang sama. Dibagian akhir film, para tokoh dalam film ini kemudian melakukan pendakian ke puncak tertinggi di Pulau Jawa, Mahameru. Tentu saja lokasi pembuatan film ini juga berada di kawasan elite buat anak - anak pegiat tracking di gunung, yaitu kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ( TNBTS ) Jawa Timur. Tetapi banyak yang terjebak dengan film ini. Film 5 Cm bukan sebuah film tentang pendakian gunung, tapi lebih bercerita tentang sebuah persahabatan. Hanya saja, ada cerita dimana mereka melakukan kegiatan pendakian ke gunung tertinggi di Pulau Jawa. 

  Namun yang menghebohkan dan membuat geger para “Pecinta Alam” bukan filmnya, tapi proses pembuatan film itu sendiri, terutama proses pengambilan gambar di kawasan TNBTS. Baru beberapa hari ketika kru datang mempersiapkan segala sesuatunya di Ranu Kumbolo, anak - anak pecinta alam di Jawa Timur sudah geger di jejaring sosial.

Hari berikutnya foto - foto beredar di sebuah group pecinta alam, yang merekam kegiatan pengambilan gambar di sana. Anak - anak pecinta alam di group jejaring sosial Facebook pun saling berantem, berdiskusi tentang pelaksanaan pembuatan film oleh Ram Soraya ini.

      Biang keladinya ternyata tuduhan perusakan lingkungan di kawasan TNBTS oleh para kru film Ram Soraya. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh para relawan, ternyata logistik mereka sangat fantastis. Dari kru film saja mereka membawa rombongan sebanyak 100 orang, sedangkan kru lokal sebanyak 150 orang yang bertugas sebagai porter.

       Logistiknya seberat 1200 kg dan ditambah 2500 kg peralatan sinematografi dan segala macam tetek bengeknya. Dapur umum untuk konsumsi tiap hari ada 4 buah, dengan dua dapur umum memakai bahan bakar kayu. Dan tentu saja banyak para kru yang mandi dan mencuci di danau Ranu Kumbolo yang notabene surga bagi para pendaki semeru. Lantas, darimana mereka memenuhi kayu untuk dapur dan untuk menghangatkan badan ketika suhu dingin. Ini dia sumber masalahnya, para kru film ini menebang pohon cemara yang ada di kawasan TNBTS. Ada 3 batang pohon dengan diameter 60 - 80 cm, dan puluhan pohon dengan diameter 20 - 40 cm yang ditebang untuk keperluan mereka.

    Dari 3 batang pohon dengan diameter 60 - 80 cm ini, jika dikumpulkan akan menghasilkan paling tidak 20 kubik kayu. Sedangkan dari pohon dengan diameter 20 - 40 cm, jika yang ditebang 20 pohon saja akan menghasilkan 100 kubik kayu bakar. Jadi ada sekitar 120 kubik kayu yang dihasilkan dari penebangan pohon oleh kru film “5 Cm”. Sekedar catatan, untuk jenis pohon cemara yang ada di kawasan TNBTS, untuk mencapai diameter 60 - 80 cm dibutuhkan paling tidak lebih dari 50 tahun. Dan populasi pohon ini sudah sangat sedikit dikawasan TNBTS. Rupanya ini yang menjadi pangkal kemarahan anak - anak pecinta alam dan fans berat Gunung Semeru.

      Menurut UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 50 dan 78, disebutkan bahwa perambahan atau penebangan pohon hutan dilarang dan pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 10 tahun dan denda Rp 5 milyar. Sedangkan UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pasal 33 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional. Pelanggarnya bisa diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 50 juta. Lalu kenapa tidak ada tindakan atas pelanggaran ini oleh para Polisi Hutan baik dari Balai TNBTS dan BKSDA?

      Namun yang lucu, ketika beberapa relawan pada saat pembuatan film ini mengetahui perusakan hutan di kawasan TNBTS dan melaporkan ke Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan membawa data bukti foto, mereka mengabaikan dan menyuruh menghapus file foto ini. Yang mengecewakan tentu saja pihak Balai Taman Nasional sebagai otoritas yang mengeluarkan SIMAKSI ( Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi ) untuk kru Ram Soraya ini. Ada banyak jenis SIMAKSI yang bisa dikeluarkan untuk para pengunjung Taman Nasional. Ada SIMAKSI untuk para pendaki yang notabene sebagai wisatawan biasa, ada SIMAKSI untuk peneliti, juga untuk pengambilan gambar baik foto maupun video komersial seperti pembuatan film dan iklan.


       Untuk yang terakhir ini, mereka kemudian wajib membayar royalti ke kas negara atas hasil yang didapat dari kegiatan komersial yang dilakukan di kawasan TNBTS. Hal ini, kita tidak tahu, apakah Ram Soraya membayar royalti ke Kas Negara atau tidak atas hasil dari film 5 Cm? Jadi untuk sekedar membuat film yang ternyata bukan sebuah film petualangan di gunung, dengan judul 5 Cm harus menghabiskan kayu sebanyak 120 kubik hasil dari perusakan di kawasan TNBTS. Ini yang membuat mereka marah! Dan mungkin mereka sekarang sedang menggalang kekuatan dan dana untuk menggugat produser film secara hukum atas perusakan di TNBTS. 

      Dan sekarang, ketika saya paham akan beberapa hal dasar yang telah dilanggar didalam prinsip dasar kepecinta alaman. Sungguh, saya menjadi under estimate terhadap film 5 cm, bukan novelnya. Entah apa yang akan saya lakukan terhadap kaos 5 Cm saya, yang merupakan pemberian langsung dari salah satu artis pemeran 5 Cm. Seharusnya saya malu memakainya ataukah harus tetap berbangga mengenakannya? 



12 komentar:

  1. iya juga bro, ane tambahin lagi, yang paling fantastis banyak juga sampah yang berserakan di sana, dan tidak dibawa turun. Ekosistem kawasan RanuKumbolo pun juga ikut tercemar akibat adanya syuting film tersebut, Dan yang lebih fantastis lagi, dampak negatif film tersebut ialah, menggiring para newbie penggiat alam tanpa adanya basic dan ilmu untuk mendaki. Bagaimana bisa di film di adegankan selama perjalanan si petualang menggunakan celana jeans? untung saja tidak hujan, kalo hujan koalahan sendiri. btw, nice review, keep writting bro.

    BalasHapus
  2. many thanks bro ... betul. terlebih lagi ketika proses pendakian menuju puncak, sungguh berlebihan menurut ane. bagaimana bisa mendaki sampe menempelkan badan ke tanah, nempel seperti cicak di dinding. aneh sekali menurut ane gan. :D dan juga satu hal yang paling ane benci, bekal air dari kalimati ke arcopodo cuma sebotol itu buat satu grup, minta lagi. :D padahal besuknya mereka masih harus bertempur dengan ganasnya pasir kerikil mahameru!!! hilangkan newbie tanpa basic skill mendaki, berdiri di puncak abdai para dewa, semeru !!! selam hangat ...

    BalasHapus
  3. wihhh, baru tau gua gan ... ni ce in po !!!

    BalasHapus
  4. ada lagi kamu bro yudha disini, hahaha ... ni ce in po ju ga

    BalasHapus
  5. wew, masalah tebang kayu jadi runyam..
    :v

    BalasHapus
  6. iya nih gan ... sangat vital menurut ane, menebang pohon di taman nasional itu ??? tp yang ane heran, kok bisa gitu lho ??? padahal regulasi jelas-jelas sudah ada ??? #hadehhhh

    BalasHapus
  7. Ada vulus, semua pasti mulus

    BalasHapus
  8. mkasih infonya gan..
    keren, baru tau ane. tpi ada scane dimana mreka ktemu ama pencinta alam lain...
    knp mreka mau jga yah ikut disyuting wktu pembuatan film?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya gan, itu juga masih kru nya sendiri kok, hehehee..

      Hapus
  9. saya rasa itu udah bagian dari alur cerita gan ...

    BalasHapus
  10. filmnya bagus pas mulai pendakian mahameru..
    tp jalan ceritanya kurang begitu menarik gan (menurut ane sih), bisa ditebak endingnya ky di FTV gitu.. :D

    BalasHapus
  11. Wah tulisan yg bagus gan 😀. Kebetulan saya juga abis nulis dampak film 5 cm. Masih sering ngeblog kah? Main2 ya ke blog saya.

    BalasHapus