Oleh
: Irkham Zamzuri
Tidak biasanya lalu lintas
kendaraan di jalan raya Karanganom-Polanharjo begitu padat. Segerombolan pemotor
yang melaju pelan menguasai separuh badan jalan. Sehingga ‘teriakan’ knalpot blombongan tak ramah lingkungan
memekakkan pendengaran. Warga yang kebetulan melintas memilih menepikan
kendaraannya, untuk menghindari ketidaknyamanan. Hal tersebut ternyata menyita
perhatian beberapa pemuda yang sedang berkumpul di sanggar pramuka seberang
jalan. Merasa terganggu berbagai cacian pun dilontarkan,
“Gondes!
Bikin tambah panas keadaan,” ucap Gunawan dengan
nada kesal. Hawa di siang itu seolah bertambah ‘resah’ ketika puluhan motor
meraung-raung tak karuan. Adri menimpali, “Dasar
manusia-manusia tak punya kerjaan, siang bolong memancing kegaduhan!” Bertolak
belakang dengan apa yang dirasakan Gunawan dan Adri, sekumpulan anak-anak kecil
justru menganggap hal tersebut layaknya hiburan. “tet ... tet ... tet ... engenggg ... engenggg ... tet ... tet ... tet
... engenggg ... enggengg ...,” dengan
raut wajah berbinar, tak sungkan mereka lantang melagukan.
Suasana di dalam sanggar pramuka
Kwaran Karanganom berangsur senggang, roman-roman ketegangan telah menghilang.
Setelah melangsungkan rapat pengurus Dewan Kerja Ranting, obrolan masih terus
berlangsung, selalu ada bahan untuk diperbincangkan. Tiba-tiba seorang kawan bertanya kepada saya,
“Kamu kemarin
kenapa?” ucap zaenal.
“Kenapa, kenapa
emangnya?” jawabku sedikit bingung.
“Kemarin waktu
naik gunung?” paparnya singkat.
“Maksudnya?”
sahutku serius penuh selidik.
“Punya masalah
apa pas naik kemarin?” tanya zaenal semakin jelas. Saya
yang sedari awal belum paham dengan pertanyaannya, berpikir keras untuk
menafsirkan sendiri.
“Masalah naik gunung?”
, “Gunung Merbabu?”, “masalah?”,
“masalah?”,
“masalah apa ya?”, batin saya tak pasti. Perasaan mulai
tidak nyaman ketika pertanyaan yang maksudnya belum saya pahami itu mulai
bersemayam di kepala. Memaksa otak untuk segera memecahkan ‘misteri’ yang
seketika itu pula langsung menghantui. Ditambah lagi Zaenal merupakan rekan
pengurus paling senior.
“Kok sampai bisa
ada masalah?” lanjutnya terus mengejar agar
pertanyaan segera ada tanggapan.
“Siapa, siapa yang ada masalah?”
potongku dengan cepat, serius tanpa basa-basi lagi.
“Kemarin yang
mendaki Gunung Merbabu cuma kami bertiga (saya, fia dan yassinta) berarti satu
diantara dua teman saya itu ada yang punya masalah saat naik Gunung Merbabu.
Tapi kalau iya, kok fia dan yassinta tidak ada yang cerita?”
pikir saya penuh terka.
“Yas ... !!! Fi
... !!!,” panggil saya dengan tatapan mata tajam penuh keingintahuan.
“Apa yang
sebenarnya terjadi,” tanyaku khusyuk kepada mereka berdua
yang sedari awal juga mendengarkan. Satu hal dasar yang yang membuat saya
bingung, bagaimana Zaenal bisa punya pertanyaan seperti itu, padahal dia tidak
ikut mendaki kemarin, bahkan saya yang bersama mereka tidak merasa ada apa-apa.
***
Mari berimajinasi terlebih dahulu,
kalau di dalam kehidupan nyata kita tak bisa memutar balik waktu, dengan
tulisan kita bisa menjadi mesin waktu. Mau dimajukan seratus tahun ke depan
atau mundur lima tahun ke belakang mudah dilakukan. Sekarang, waktu kita putar
seminggu ke belakang.
Siang itu, senin, 31 Desember 2012 cuaca
di Desa Selo tidak begitu mendukung, langit tampak murung, gelap, pucat, karena
mendung tebal menggantung. Rintik hujan mengiringi kedatangan kami di basecamp
pendakian, kabut tebal menutupi pemandangan alam sekitar. Dengan baju yang
sedikit basah, segera kami masuk dan membersihkan diri di rumah Pak Bari. Pak
Bari adalah salah satu dari dua penjaga basecamp yang ada di Gunung Merbabu via
Selo.
“Selamat siang.
Apa kabar pak?” tanya saya kepada Pak Bari saat
melakukan pendaftaran.
“Alhamdulillah
mas sehat. Orang berapa mas?” jawabnya.
“3 orang pak,”
jawab saya.
“Silahkan
mengisi daftar nama di buku tamu mas, beserta kontak yang bisa di hubungi,”
pintanya ramah sembari menyerahkan karcis masuk pengunjung.
“Siap! Terima
kasih pak,” jawab saya.
Ratusan pendaki dari berbagai
daerah sudah memadati rumah Pak Bari yang sengaja dijadikan basecamp pendakian.
Rumah sederhananya didesain khusus dengan ukuran ruang tamu sangat luas untuk
transit para pendaki. Sebagian besar dari mereka hampir bisa dipastikan punya
rencana yang sama dengan kami, yaitu merayakan pergantian tahun di puncak
gunung.
Mendaki gunung di musim penghujan
bukanlah hal baru buat saya, beberapa pendakian ditemani cuaca tak menentu
pernah dilakukan. Hal tersebut memberikan pembelajaran terkait persiapan yang
harus lebih dimatangkan. Tapi pendakian ini berbeda, Fia dan Yassinta yang
menjadi partner saya adalah dua orang yang benar-benar pemula. Buat Fia ini baru
pendakian kedua setelah merapi sebulan sebelumnya, untuk Yassinta merbabu akan
jadi yang pertama.
“Siap kan juk?”
tanyaku ke Yassinta, juk atau jujuk adalah sapaan akrabnya. Kami bertiga sudah
kumpul saling mendekat guna briefing sebelum berdoa.
“Harus siap pak
kham. Setelah kemarin ngerayu mama mati-matian,”
jawabnya sembari tersenyum riang. Seiring dengan berhentinya rintik hujan, kami
putuskan segera memulai pendakian di siang itu.
Jalur pendakian sedikit licin
akibat guyuran hujan semalam, kondisi tanah yang lembek serta kabut tebal
menemani langkah awal pendakian. Diperlukan konsentrasi dan kewaspadaan tingkat
tinggi, salah-salah kita bisa terpeleset lantaran tanah basah. Langkah kaki
tidak bisa memburu, harus pelan disertai kuatnya pijakan. Semilir angin
bercampur kabut sangat jelas menempel di kulit muka.
Menurut Pak Bari, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kenapa jalur pendakian via selo selalu ramai. Salah
satunya tedapat 2 sabana luas di jalur ini yang menjadi tempat favorit untuk
mendirikan tenda. Rumput hijau yang menghampar luas menjadi daya tarik utama
jikalau di bandingkan dengan 3 jalur lainnya.
Perlahan namun pasti kita terus
menjauh dan semakin masuk kedalam hutan, tetesan semangat yang masih segar
meringankan langkah kaki seolah tanpa beban. Di tengah heningnya keadaan,
dengusan nafas terdengar memburu “huh ... huh ... huh ... huh”, menggantikan
percakapan yang hilang karena nafas aja engap-engapan. Istirahat dengan duduk
bersandar pada tas carier yang lebih panjang dari gabungan punggung, leher dan
kepalaku, menjadi nikmat Tuhan yang tak terdustakan. Kicauan burung berbalasan
syahdu menyampaikan sambutan, “selamat datang, kawan.” Serangga dan hewan
endemik di tengah hutan, bising bersahut-sahutan tak kala petang datang.
Ketika petang datang kami sudah
sampai di pos III, sebuah tanah lapang yang sangat luas membentang. Perjalanan
teramat berat untuk mencapai titik sejauh ini, terwakili dengan raut wajah Fia
dan Yassinta, lelah, letih, lesu, tanpa ekspresi. Kondisi fisik serta stamina
yang tak lagi sama menghambat kita untuk melanjutkan perjalanan. Konsentrasi
dan kefokusan yang mulai berkurang mengharuskan kita untuk tinggal.
“Pak Kham,
bangun tenda sini aja ya,” kata Yassinta dengan lemahnya.
“Iya om, sini
aja, istirahat dulu besok baru dilanjutkan,” sambung Fia
mencoba menjelaskan. Tanpa pikir panjang lagi melihat kondisi mereka berdua
yang memang sudah tidak memungkinkan, saya turuti kemuan mereka.
“Ok, kita buat
tenda disini. Cari semak-semak untuk perlindungan dari angin, biar tendanya ada
sedikit perlindungan,” jawabku santai bermaksud
menenangkan pikiran mereka. Segera saya bongkar tas carier tempat dimana saya
menyimpan semua peralatan. Satu persatu dikeluarkan karena tenda berada
dibagian paling bawah dari tas berukuran 80L tersebut. “Fi ... Yas ... bantu saya pasang frame,” pinta saya untuk
mempercepat pemasangan tenda. Tenda berkapasitas 4 orang itu cukup longgar
untuk kami bertiga. Semua barang diletakkan di bagian tepi tenda guna
menghindari angin malam yang langsung menempel di dindingnya.
“Energen atau
kopi pak kham?” tawar Yassinta ketika sedang merebus
air panas.
“Coffee
please... ,” jawab saya sambil tersenyum lebar penuh
kemenangan. “Kapan lagi dilayani kayak
gini sama 2 cewek sekaligus,” batin saya tertawa kegirangan. Seraya
menunggu makan malam siap, saya berganti dengan pakaian kering agar nanti bisa
istirahat dengan maksimal.
Untuk
menghilangkan dingin yang masih saja menembus tebalnya lapisan baju. Saya
menyusul Fia dan Yassinta yang sedang menghangatkan diri duduk melingkari api
unggun. Bersama dengan puluhan tenda lainnya, udara dingin malam itu kalah oleh
hangatnya makna kebersamaan. Riuhnya obrolan membawa kita untuk menyaksikan
malam terakhir, di tahun yang pernah diramalkan bahwa dunia dan alam semesta
akan hancur ditelan kemusnahan, kiamat 2012.
“10 ... 9 ... 8
... 7 ... 6 ... 5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1 ...,” puluhan
atau bahkan ratusan orang mulai countdown. Tak jelas siapa yang memulai,
seketika itu pula tanpa seorang pun yang mengkomandoi semua pendaki yang
membangun tenda di pos III sepakat untuk berteriak bersama-sama, lantang, penuh
kegembiraan.
Tiba-tiba,
“Ciuuuuuu ...
Dor ... kretik kretik kretik ... Ciuuuuuu ... Dor ... kretik kretik kretik ... Ciuuuuuu
... Dor ... kretik kretik kretik ... Ciuuuuuu ... Dor ... kretik kretik kretik
...,” letusan kembang api menghiasi langit merbabu dengan
megahnya.
Bersama ratusan bintang dan bulan
terang, kembang api menjadi pernik warna-warni berkilauan terbang. Jarum jam
sudah kembali bergerak, bergerak dengan hari baru, bulan baru, tahun baru, dan
tentu saja semangat, resolusi serta inspirasi baru. Belum hilang bekas
kegembiraan beberapa saat lalu, ketika hujan dengan derasnya tiba-tiba turun.
Semua orang pun berlari ke tenda mereka masing-masing, seakan melupakan apa
yang baru saja mereka luapkan.
1 Januari 2013 diawali dengan hujan
deras yang membabi buta, melunturkan paksa keceriaan puluhan atau bahkan
ratusan orang. Berbenah di dalam tenda, merapikan semua barang, menjauhkan
sepatu dari kemungkinan kehujanan, sebelum pada akhirnya sisa waktu akan
digunakan untuk memejamkan mata. “Tletok
... Tletok ... Tletok ... ,” semacam tamu tak mengenal sopan, terpaan hujan
pun menghantam dinding tenda dengan kasar. Dengan sedikit kekhawatiran akan
hujan, tubuh ini pun tak bisa lagi bertahan, terus dan terus memaksa untuk
diistirahatkan.
Entah
sejak kapan hujannya mulai reda, yang saya tahu ketika mata ini kembali
terbuka, sinar pagi sudah menyapa. “Pada
kemana ini?” tanyaku dalam hati ketika Fia dan Yassinta tak ada lagi
disamping saya hanya kantung tidur mereka yang tersisa. Dengan menggunakan
tissue basah, saya mulai mencuci muka sebelum keluar dari tenda. Melihat
kanan-kiri sekitaran tenda mata ini tak jua menemukan mereka berdua. “mungkin nyunrise,” batin saya.
Tanpa mempedulikan mereka lagi saya
kembali ke tenda untuk mempersiapkan keperluan summit attack dan memasak
sarapan. Cuaca pagi ini lumayan cerah, masih bisa digunakan untuk melanjutkan
perjalanan menuju ke puncak gunung merbabu. Setelah kami bertiga selesai makan,
kembai mengecek keperluan untuk perjalanan ke puncak tetap kami lakukan. Tepat
jam 7 pagi, kami bertiga melanjutkan perjalanan.
Walaupun jalur pendakian selepas
dari pos III lebih terjal nan curam, perjalanan bukan berarti lebih berat,
karena sebagian besar barang yang tidak diperlukan kami tinggal di tenda.
Punggung tanpa gantungan beban membuat langkah semakin lancar. Intensitas break
pun tak sesering perjalanan semalam.
Namun perjalanan yang sudah begitu
lancar, kembali menemui kendala ketika kabut tebal datang tiba-tiba, disertai
angin kencang. Lapisan semangat dan mental yang begitu tebal mendorong kami
untuk tetap melanjutkan pendakian ini. Puncak yang sudah didepan mata,
memotivasi saya untuk mengantarkan Fia dan Yassinta berdiri di tanahnya.
“Pak kham, aku
ditinggal disini aja, gak kuat, lemas banget aku, tak tunggu disini, kamu sama
Fia lanjut aja,” keluh Yassinta dengan wajah datar.
“Nggak. Juk,
ingat perjuanganmu untuk sampai disini, itu gak mudah. Apa mau kamu sia-sia
kan? finish what have you thought,” kata saya mencoba
menyemangati.
“Ayo mbak juk,
semangat, pelan-pelan aja, pasti saya temani, kita bersama pasti bisa,”
tak kalah cerdiknya Fia membangun kembali mental Yassinta.
“Set your mind,
free your soul, break your limits,” lanjut saya sambil
menatap kedua mata Yassinta.
Perlahan
namun pasti langkah kecil ini menanjak dan semakin menanjak. “Yang capai itu semangatmu, mentalmu, bukan
fisikmu. Capai itu pasti tetapi semangat adalah pilihan,” terngiang
kata-kata pelatih Paskibraka sewaktu SMA. Mungkin itu juga yang sedang terpikir
dalam benak Fia dan Yassinta, mereka berdua kembali lagi ke 100% setelah
beristirahat cukup lama. Tak terasa, mereka menginjakkan kakinya juga di tanah
tertinggi gunung merbabu. Begitu jelas rona kepuasan, rona kegembiraan, rona
kelegaan, memancar di wajah mereka berdua. “Syukur
alhamdulilah ... Terima kasih Tuhan telah mengijinkan saya merasakan betapa
agung nya ciptaan-Mu,” ucap Yassinta dengan mata berkaca-kaca. Namun,
sayang karena kabut yang sangat tebal, pemandangan yang seharusnya hijau
menyegarkan tak dapat dinikmati oleh mata secara langsung.
Cuaca
memang tidak bisa dipastikan, dengan sangat derasnya hujan turun seketika.
“Celaka,” teriak
saya.
“Kenapa om,” sahut
Fia kaget.
“Jas hujan
ketinggalan di tenda”, jawab saya sekenanya, sembari
kedua tangan masih berusaha mencari di dalam tas. Memang benar satu pun jas
hujan tidak ada yang terbawa. Entahlah, bagaimana hal ini bisa terjadi, mungkin
karena cuaca pagi tadi yang lumayan cerah membuat kami lupa untuk membawa jas
hujan. Hujan lebat diiringi petir-petir yang menyambar terpaksa diterjang tanpa
pengaman. Dingin menyergap keseluruh bagian tubuh, rahang tak berhenti
menggigil, kepala pun sedikit demi sedikit mulai pusing. Mau tidak mau kami
harus mempercepat langkah untuk menyegerakan diri kembali ke tenda. Lari, kalau
mungkin.
Hujan
tak kunjung reda ketika kami bertiga sudah sampai di tenda. Sesegera mungkin
kami mengeringkan badan agar dingin yang membungkus kulit, lekas menghilang.
Sungguh, cuaca sedang sangat tidak bersahabat berjam-jam kami berteduh di dalam
tenda, selama itu pula tak ada tanda-tanda curah hujan berkurang.
“Gak dingin to
om cuma pakai sarung,” tanya Fia dengan senyum nyinyir.
“Lha mau gimana
lagi, bajuku kamu basahin semua to,” balasku cuek. Di dalam
tenda ketika berteduh dari hujan saya memang tak mengenakan pakaian, seluruh
baju ganti basah kehujanan selama turun dari puncak tadi, terpaksa badan hanya
terbungkus sarung. Niat hati ingin berfoto dengan berganti-ganti pakaian, tapi
kenyataan malah tak mengenakan.
Menjelang maghrib hujan berhenti, dengan terburu
kita berkemas, dan bersiap untuk turun.
***
Fia
dan Yassinta malah cengar-cengir kayak orang tak punya dosa ketika saya
menanyakan ke mereka, apa yang sebanarnya terjadi.
“Asem kowe, malah
senyum-senyum,” lanjut saya jengkel.
“Hahaha ... gak
ada apa-apa pak kham, suer ... ,” jawab Yassinta tertawa
membahana.
“Ora mungkin ...
,”
potong saya.
“Gini, lho Mas
Zaenal, kemarin itu kan saya ijin sama mama tanggal 1 Januari sore sudah sampai
rumah lagi. Tapi karena kemarin itu pas nanjak kita terjebak hujan deras sehari
semalam di dalam tenda, makanya kita nambah sehari di gunung merbabu. Itu yang
membuat mama dan keluarga di rumah bingung, makanya kemarin itu mama ngelaporin
sama ke SAR, dikiranya saya kenapa-kenapa gitu di gunung. Tapi gak papa kok,
saya udah ngejelasin semuanya ke mama,” papar Yassinta panjang lebar
sebagai jawaban atas pertanyaan Zaenal.
“Oalah ... mbok
ya kalau ada apa-apa itu menghubungi orang dirumah biar gak pada bingung,”
respon Zaenal ,”Soalnya kemarin mas mu
telpon saya tanya-tanya, katanya DKR Karanganom naik gunung. Saya kan bingung
mau jawab gimananya,” lanjut Zaenal.
“hah... ??? SAR. Serius?” tanyaku kaget.
“Kok aku nggak
kamu kasih tahu juk,” lanjutku dengan nada kecewa ,”aku kan jadi gak enak sama mama kamu,
sungkan. Nanti dikira aku gak bisa tanggung jawab karena ngajak kamu naik
gunung.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar