Oleh : Irkham Zamzuri
Jika kami semua (kader atau pernah kader) yang hadir pada
malam hari ini ditanya satu per satu, maka dengan penuh semangat saya lantang
menjawab. Apakah senang ? Pasti ! Tidak bermaksud untuk menjadi orang muna tapi
tujuan saya bertahan dalam perang setahun kebelakang ialah berdiri di malam
ini. Sedih? Pasti ! Bermula dari puluhan kolega, hanya beberapa yang akhirnya
bisa berlari sampai batas henti. Mereka-mereka yang lain gugur di medan perang,
ada yang menyerah sebelum berulah, ‘virus’an
di tengah jalur pendakian, bahkan sebagian ‘mati’ karena kami ‘bunuh’ sendiri.
Di tempat dengan riwayat yang katanya indah ini, asas kekeluargaan ditanamkan
untuk dapat memaknai arti sahabat sejati. Tapi disini pula, kami harus
menepikan rasa, mencoba untuk tega, memilah-milah calon anggota keluarga. Kata
pepatah seburuk-buruknya orang tua, dia tetap bapak ibu kita. Tak pantas untuk tidak
mengakui keberadaannya. Namun, di lembaga ini ungkapan tersebut terbantahkan,
belajar dua hal berbeda dalam kurun waktu yang sama, mempercayai sekaligus
mengkhianati.
MALAM ITU KAMI
DISANA
“Kenapa kaubawa
aku kemari, saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam.
Bayang-bayang
di sudut peron, menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya
melompat, merapat ke sepi. Barangkali saja
Kami sedang
menanti kereta yang biasa tiba, setiap kali tiada seorang pun siap memberi
tanda-tanda; Barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini, ketika tak ada
yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti;
Hanya nafas
kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba;
Sinyal-sinyal
kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara, sementara bayang-bayang
putih di seluruh ruangan, “Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku
kemari?”
(1970) Sapardi
Djoko Damono
Teman-teman
(pengurus atau demisioner ) didik kami tentang, apa itu bekerja dengan hati ? Didik
kami tentang, apa itu organisasi ? Didik kami tentang, apa itu KEADILAN ?
Pramoedya Ananta Toer pernah bertutur menulis adalah bekerja untuk menjadi
kekal. Seseorang yang sudah meninggal duniapun, masih bisa menginspirasi berkat
goresan tinta keabadian. Jika Ariel Peterpen pernah berkata, “tak ada yang
abadi” maka di rumah ini hal itu tak punya arti. Bimbing kami dengan sepenuh hati.
Padukan langkah kami. Tegur, jika kami disorientasi. Sekarang kami datang,
terimalah bukan sebagai junior ke senior. Anggaplah kami sebagai bala bantuan
yang akan membantu rencana kerja kepengurusan.
YANG FANA
ADALAH WAKTU
Yang fana
adalah waktu. Kita abadi: memungut detikdemi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari, kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang
fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita Abadi.
(1978) Sapardi
Djoko Damono
Dalam pidatonya
yang disampaikan ketika pelantikan pengurus LPM KEADILAN masa bakti 2013/ 2014,
Jefrei Kurniadi berpesan, “kuatkan pendengaran”. Urutannya adalah telinga, mata
dan yang terakhir adalah mulut. Apa maksud dari semua itu, telinga adalah
sumber utama untuk mematangkan isu, mengumpulkan bermacam informasi, lantas
mencerna dengan hati. Mata dan Mulut sebatas komplemen belaka yang hanya akan
bekerja ketika telinga sudah cukup mengumpulkan data dan fakta. Pekerjaan rumah
yang teramat berat, namun kami tetap akan datang dengan kapasitas yang
seimbang.
TELINGA
“Masuklah ke
telingaku,” bujuknya.
Gila : ia
digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apapun secara
terperinci, setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang
menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
(1982) Sapardi
Djoko Damono
Bawa kami untuk
mencintai KEADILAN. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Ya, sederhana saja.
Sesederhana makna cinta.
AKU INGIN
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana, Keadilan.
Dengan kata
yang tak sempat diucapkan,
Kayu kepada api
yang menjadikannya abu.
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana, Keadilan.
Dengan isyarat yang
tak sempat disampaikan,
Awan kepada
hujan yang menjadikannya tiada.
(1989) Sapardi
Djoko Damono
*Untuk kalian
semua yang mungkin sedang malas dengan berbagai macam aktivitas, atau bosan
menghadapi rutinitas, mari sejenak kita bersama-sama merenungi, kenapa kita
bertahan sejauh ini dan dimana kita berdiri ? Salam wani teros !!! Karena mundur adalah tanda khianat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar