Menembus Batas di Gunung Merapi
2998 mdpl
Via Selo, Boyolali, Jawa Tengah
Oleh
: Irkham Zamzuri
Untukmu yang telah memberikan iman
Untukmu yang telah mendidik moral
Untukmu yang telah mengorbitkan kepercayaan
Untukmu yang selalu menyayangi sang titipan
Untukmu yang selalu ada untukku
Untukmu yang mengerti keadaanku
Untukmu ... wahai engkau nafas kehidupan
Terima kasih Tuhan, Keluarga, Sahabat, dan Kawan
tidak sekedar bermimpi tapi kami punya impian
Sudah 2 hari ini handphone saya non aktifkan semenjak saya
harus menemani Laszlo dan Philip, kawan saya dari Belanda dan Filipina untuk
melakukan pendakian di gunung merapi dan merbabu. Jam sudah menunjukkan pukul
13.00 ketika terdengar sebuah nada dering berbunyi sebagai pertanda bahwa ada
pesan masuk beberapa menit setelah handphone saya aktifkan, benar saja
beberapa pesan sudah mengantri masuk silih berganti menunggu untuk dibaca.
Sebuah pesan yang saya rasa tidak biasa datang, “Pak, masuk kuliah kapan”?
berniat untuk segera membalas pesan tadi tiba-tiba jaringan sinyal di ponsel
saya hilang, maklumlah posisi saya masih berada di basecamp pendakian gunung
merbabu. Sambil melihat-lihat handphone yang sedari tadi saya angkat keatas
untuk mencari jaringan sinyal, terdengar suara yang sepertinya mengarah ke
saya.
Laszlo : “What are you doing”? tanyanya ketika sedang sibuk
membersihkan sisa-sisa debu yang masih menempel hampir di seluruh tubuhnya.
Me : “Searching for connection”. Jelas saya tanpa melihat
kearah laszlo yang juga masih sibuk dengan debu-debunya.
Laszlo : “What ... Really ??? How come ??? responnya sambil
menatap saya sedikit kebingungan. Mungkin memang benar kalau dia sedang
merasakan sedikit kebingungan jika dilihat dari raut wajahnya yang sedikit
aneh. Sebenarnya saya pribadi juga bingung dengan apa yang saya lakukan jika
diminta untuk berpikir secara logis tentang tindakan saya ini. Apa hubungannya
coba antara mencari sinyal dengan mengangkat handphone tinggi-tinggi.
Emang iya, sinyal terus bisa nyangkut di handphone saya ??? Wajarlah
kalau dia bergumam, “crazy” hahaha...
Me : “Of course ... old style man”! papar saya ngawur sambil
terus mengangkat tangan saya hahaha. Sampai akhirnya, “yeah ... dapat” teriak
saya kegirangan.
Laszlo : “Can you”? tatapnya semakin serius.
Me : “Why not! Sometimes we get lucky, laszlo”? sahut saya
dengan bangganya, hahaha
Setelah kalimat untuk membalas pesan dari Yassinta Aulia telah
selesai diketik, “Masih sebulan lagi
juk. Ngopo emang”? beberapa detik kemudian munculah sebuah pemberitahuan Pesan
Terkirim dilayar handphone saya. Dan ternyata setelah kembali masuk
kedalam ruangan jaringan di handphone saya hilang lagi. Oh ... God. Come on
...
Waktu itu adalah tanggal 18 Agustus 2013 ketika saya, Laszlo dan Philip
sedang beristirahat di basecamp pendakian gunung merbabu setelah barusaja turun
beberapa saat yang lalu. Dengan cuaca yang sangat panas seperti hari ini,
mendaki gunung sungguh sangat menguras tenaga. Apalagi merbabu adalah gunung
kedua dan juga hari kedua bagi kami, setelah tanggal 17 Agustus kemarin kami
bertiga merayakan hari kemerdekaan Indonesia dengan mendaki gunung merapi.
Pengalaman yang luar biasa bagi saya mengingat kedua teman saya bukanlah orang
Indonesia namun dengan bangganya mereka berdua sengaja datang ke Indonesia
untuk merayakan kemerdekaan Indonesia dengan mendaki gunung berapi teraktif di
Indonesia, gunung merapi. Belanda dan Indonesia beratus tahun yang lalu sempat
terlibat dalam pergolakan yang sangat lama, dimana sudah diketahui oleh semua
orang bahwa Belanda menjajah negara Indonesia selama 350 tahun lebih. Namun
saat ini saya merayakan kemerdekaan negara Indonesia dengan Laszlo, seorang
pemuda berwarga negara Belanda. Apakah saya takut, tidak! Walaupun dia adalah seorang
asing tapi Laszlo sangat respect dengan negara kita, Indonesia. Dia
selalu memuji akan keindahan alam Indonesia yang sungguh luar biasa dan maha
luas. Terbukti dengan kerelaannya dan kesengajaannya datang ke Indonesia hanya
untuk merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke 68. Sempat terharu dengan dia dan
philip, dua pemuda asing yang cinta akan Indonesia.
Setelah istirahat dan bersih-bersih badan dirasa cukup kita
putuskan untuk segera kembali ke Jogja dengan berkendara sepeda motor. Namun
sebelum itu kita sempatkan untuk makan siang terlebih dahulu di basecamp
pendakian gunung merbabu. Menu makan siang kali ini adalah soto, tergolong
cukup istimewa di tempat ini karena kemarin selama pendakian kami bertiga hanya
makan roti, snack, ataupun mie instan. Maklumlah kami hanya menghabiskan waktu
semalam di gunung, jadi kami hanya membawa bekal yang ringan-ringan saja selama
pendakian. Mereka berdua kelihatannya sangat menikmati makan siang kali ini,
soto yang cukup nikmat di basecamp Selo, Boyolali. Dan teh panas adalah teman
setia kami selama 2 hari di kawasan taman nasional merapi merbabu, sangat cocok
untuk relaksasi badan ataupun sekadar penghangat tubuh sebagai pengganti tenaga
yang sempat hilang pasca pendakian. Masih teringat dengan jelas di memori
ketika Philip dan Laszlo menanyakan hal yang sama kepada saya, “what is it,
unique and nice taste”? dengan bangga saya jelaskan kepada kedua teman saya
itu, “Yeah ... I think so, very delicious taste. This is what called as
“soto” or known as chicken soup. Made with traditional recipe of Indonesia”. Do
you like it”? dengan kompaknya mereka berdua menjawab, “Of course .... I
like it so much, it’s good for us”.Dalam batin, saya cukup bangga dengan
apresiasi kedua teman baru saya itu. Sebuah pujian yang sangat jarang saya
dengar bahkan dari mereka para pemakan setia kuliner ini. Karena hari sudah
semakin sore kami putuskan untuk segera bergegas pulang. Boyolali, Klaten,
Jogja, kami tempuh dengan berkendara sepeda motor selama 2,5 jam. Sampai
akhirnya kami semua sampai di meeting point dengan kawan-kawan couchsurfers
regional Yogyakarta yang sedang melangsungkan gathering. Sedikit
menyimak dan mengikuti ternyata agenda mereka adalah halal bi halal sesama memberscouchsurfing
regional Yogyakarta dan Laszlo serta Philip menjadi tamu yang cukup istimewa
buat teman-teman yang lain. Sampai akhirnya saya harus berpisah dengan mereka
berdua, sisa 3 hari Laszlo dan Philip di Jogja selanjutnya akan dipandu oleh
teman-teman couchsurfing lain yang berdomisili di jogja. Dan tugas saya
untuk memandu Laszlo dan Philip untuk melakukan pendakian di gunung merapi dan
merbabu selesai dengan ditandai makan nasi goreng bersama. Thanks guys ...
Enjoy your holidays!
FYI, Laszlo mempunyai tinggi badan yang sangat ideal layaknya
pemuda Eropa lainnya, tinggi besar, berhidung mancung, serta berkulit putih.
Namun Philip, saya rasa dia lebih mirip orang lokal jika sekilas dilihat dari
bentuk tubuhnya, wajahnya, kulitnya, ataupun rambutnya. Baru akan ketahuan
kalau dia adalah foreigner kalau kita mengajak dia bicara, pastilah dia
tidak bicara bahasa Jawa ataupun Indonesia. Kejadian sangat lucu yang masih
saya ingat sampai sekarang, pertama ketika baru tiba di bandara internasional
Adi Sucipto Yogyakarta, petugas bandara mengajak ngomong Philip dengan penuh
percaya diri dalam bahasa Indonesia. Hahaha ... sampai akhirnya Philip
merespon, “what do you mean, i’m not Indonesian”? barulah petugas
bandara menyadari kesalahannya. Kedua, selama perjalanan pendakian merapi
ataupun merbabu banyak sekali pendaki lain yang kebetulan berpapasan dengan
kami saling menyapa, tetapi “amit mas” “nyuwun sewu mas” “misi dab” ataupun
“permisi mas” dan “mari mas” hahaha ... batin gue, lo kira dia orang kita.
Untunglah sebelum melakukan pendakian saya sudah sedikit menjelaskan kepada
Philip untuk tetap tenang dan selalu senyum dalam merespon mereka, “but, why
they are always say hello when meet us”? sambil tersenyum ramah saya
bilang, “that’s Indonesian, man”! Ketiga, ketika kami sedang
beristirahat sambil sandaran pada tembok di basecamp merbabu yang kebetulan
diatas tempat Philip duduk ada colokan listrik untuk charger handphone, ada
seorang pemuda yang sudah sangat kecapaian dengan wajah pucat datang kepada
philip. Dengan kondisi yang belum sepenuhnya sadar dia bilang ke Philip,
“nyuwun tulung mas” sambil mengarahkan hp dan chargernya kearah Philip. Tanpa
memberikan respon apapun dan sambil tengak-tengok Philip masih bingung dengan
apa yang sedang pemuda itu lakukan. Namun hal yang sangat membuat saya kaget
adalah pemuda itu berkata, “kepriben to sampean iku kang, dijaluki tulung malah
meneng bae” hahaha ... dengan sedikit emosi pemuda itu mulai berkata sedikit
keras menggunakan bahasa Jawa khas Tegal an atau Cilacap an (mohon maaf tidak
bermaksud rasis), kepada Philip. Sontak, Philip langsung merespon, “What are
you talking about? I don’t understand, keep calm man”. tiba-tiba suasana
hening melanda, hanya terdengar dengusan nafas pemuda tadi yang mulai sedikit
kencang dan memburu. Sampai akhirnya dalam hitungan detik, pemuda tadi lari
entah kemana. Hahaha ... sumpah, sungguh kejadian yang sangat lucu. Setelah
saya jelaskan apa yang terjadi kepada Laszlo dan Philip, barulah mereka berdua
ikut tertawa dengan lepasnya hahaha ... “these troubles cause of you
Philip”. Imbuh Laszlo yang masih terbawa dalam suasana penuh tawa hahaha
... Sungguh terlalu, kata bang Haji Rhoma.
Beberapa hari setelah membalas pesan dari Yassinta Aulia atau lebih
akrab kami panggil jujuk, pada tanggal 23 Agustus 2013 saya bertemu
dengannya di acara gladi bersih persiapan upacara dalam rangka untuk
memperingati hari pramuka ke 52 di lapangan merdeka, Karanganom Klaten. Dia
memberitahu saya kalau masih punya liburan sebelum masuk kuliah pada semester
III selama 3 minggu, makanya dia mengajak untuk menghabiskan liburan salah
satunnya dengan mendaki gunung. Dengan berbagai pertimbangan yang telah diambil
dan tambahan teman yang bersedia untuk bergabung diputuskanlah pada tanggal 28
Agustus 2013 mendatang tepatnya hari Rabu, kami berempat akan mendaki gunung
merapi. Bagi saya pribadi tidak pernah ada kata “basi” untuk mendaki gunung
merapi karena tempat ini sungguh luar biasa dan penuh perjuangan untuk
mendakinya, padahal beberapa hari yang lalu baru saja mendaki merapi tapi saya
selalu ketagihan untuk mencapai puncaknya. Saya dan ketiga teman saya ini sudah
sangat akrab dan hampir selalu berkegiatan outdoor bersama, untuk Yassinta
Aulia ini adalah pendakian pertama ke Merapi, sedangkan untuk Febrina Suci
Wulandari merapi adalah gunung pertama dalam sejarah pendakiaannya so let bring
her success, Giananda Saktika Nugraha akan mengukir kali kedua menginjakkan
kaki di gunung merapi, dan untuk saya pribadi ini adalah pendakian merapi yang
ke sekian kalinya. Hahaha ... Yap ... benar, tak ada kata bosan walaupun track
nya terjal menantang.
Tak perlu rapat untuk melakukan persiapan sebelum melakukan
pendakian di gunung merapi kali ini, saya hanya memberikan info kepada ketiga
teman saya itu melalui pesan sms. Terkait apa-apa saja yang harus dipersiapkan
untuk keperluan pribadi ataupun kelompok. Sehubungan dengan peralatan cooking
setsaya masih dibawa teman kuliah yang berada di Jogja dan kebetulan juga
saya tidak sempat untuk mengambilnya, terpaksa untuk pendakian kali ini kami
akan menggunakan parafin (bahan bakar padat) untuk memasak selama pendakian.
Setelah dirasa semua persiapan cukup diputuskanlah untuk berkumpul dirumah
Yassinta Aulia, Jatinom Klaten pada jam 20.00 tanggal 27 Agustus 2013. Sebelum
berangkat kesana saya terlebih dahulu kerumah Giananda Saktika Nugraha atau
Nanda untuk berangkat bersama menuju meeting point dengan berboncengan
untuk menghemat kendaraan ataupun kalau kita kecapaian bisa bergantian. Cukup
istimewa, ketika saya sampai dirumah nanda ternyata dia barusaja bangun tidur.
Hahaha ... kok bisa ya ??? atau apa sudah capai sebelum mendaki ??? maybe
not maybe yes ... hahaha
Semua sudah berkumpul di tempat yang disepakati bersama karena
memang rumah Yassinta merupakan titik yang paling dekat untuk menuju tempat
tujuan yaitu Selo, Boyolali. Dengan menggunakan 2 motor saling berbonceng kami
berangkat setelah berpamitan dengan tuan rumah. Entah suatu kebetulan atau apa,
ternyata ibunda dari teman kami ini juga mempunyai hobi yang sama sewaktu muda
dahulu. Sambil memberikan restu kepada kami berempat ibunda yassinta bercerita
secara singkat kalau dulu dia juga suka mendaki gunung semasa SMP sampai tamat
kuliah. Maka dari itu beliau tidak akan melarang anaknya untuk menyatu dengan
alam karena menurutnya ini adalah kegiatan positif yang akan sangat berguna
untuk pembentukan karakter anaknya. Seakan suatu kebetulan hal itulah yang juga
saya amini selama ini, kenapa saya mendaki gunung. Namun ada juga dimana orang
tua tidak merestui anaknya untuk melakukan kegiatan di alam bebas. Mungkin
salah satu alasannya karena si anak itu sendiri masih terlalu manja dan tidak
bisa menjaga dirinya sendiri. Makanya orang tua mereka juga was-was kalau harus
melepas anaknya di alam bebas. Sebagai contoh kalau si A sedang sakit yang
tidak terlalu parah semacam pusing atau flu di kosan mereka, tetapi justru si A
ini mengadu kepada kedua orangtua tentang keadaannya. Saya rasa hal-hal semacam
inilah yang punya peranan menghambat restu kedua orang tua, karena dari pihak
orang tua akan berpikiran ternyata anak saya belum bisa menjaga dirinya sendiri
dengan baik. Atau mungkin ada juga alasan lain, dimana ketika akan melakukan
kegiatan di alam bebas kita terlalu bergantung kepada orangtua untuk meminta
uang saku sepenuhnya demi membiayai kegiatan kita di alam bebas. Come on guys
... Terkadang kita harus menyisihkan sebagian dari uang jajan supaya bisa
bersenang-senang, dalam artian untuk berkegiatan di alam bebas. Bolehlah minta
uang saku dari orang tua, tetapi jangan selalu menggantungkan itu sebagai modal
utama kita berkegiatan di alam. Dengan begitu kemungkinan restu kedua orang tua
akan kita dapat dengan mudah. Atau kalau hal-hal tersebut masih belum berhasil,
ada baiknya kita introspeksi diri dulu. Kenapa orang tua kita tidak memberikan
ijin kepada kita, mungkin ada sikap atau tindakan yang kurang baik dimata kedua
orang tua kita. Satu hal yang tidak saya anjurkan, jangan sekali-kali
berkegiatan di alam bebas tanpa restu kedua orang tua bagaimanapun restu orang
tua adalah segalanya, bukan ? Bahkan didalam salah satu ajaran agama hal
seperti ini juga diajarkan dengan sangat tegas dan jelas, bahwa restu Tuhan
bergantung pada restu orang tua. Dengan kata lain kalau kita berangkat
kemanapun dengan restu kedua orang tua, mudah-mudahan Tuhan pun merestui dan
mempermudah langkah kita semua. Bukankah ini yang kita selalu inginkan ???
Satu jam berkendara sampailah kami di daerah Cepogo Boyolali, mengingat
saya belum membeli perbekalan pribadi untuk pendakian malam ini akhirnya kami
putuskan untuk berhenti di salah satu minimarket sebelum tikungan terakhir menuju
pasar Cepogo. Dirasa cukup dengan belanja perbekalan, tiba-tiba saya harus
mencari toilet untuk buang air kecil. Kebetulan sekali didepan tempat kami
berhenti ada sebuah masjid yang tidak ditutup sehingga saya bisa pergi ke
toilet. Setengah jalan menuju masjid, saya sedikit takut karena ternyata semua
lampu sudah mati. Hahaha ... Untunglah si Nanda juga menemani sehingga tumbuhlah
kembali keberanian saya. Hahaha ... Sedari tadi kami merasa kedinginan selama
perjalanan tetapi air didalam kamar mandi masjid ini jauh lebih hangat dari
terpaan angin malam selama perjalanan.
Ketika kami berempat sampai di basecamp pendakian gunung merapi di
Selo Boyolali, ternyata loket pendaftaran sudah tutup. Saya sempat berpikir
karena hal ini tidak biasa terjadi atau mungkin karena pendakian pada malam
hari cukup sepi, bila saya hitung dari beberapa motor saja yang parkir di posko
barameru. Sekitar jam 22.45 kami masuk kedalam rumah warga yang menjadi
basecamp bagi para pendaki yang akan mendaki di gunung merapi, didalam sudah
ada beberapa teman yang juga akan mendaki gunung merapi. 3 dari 7 orang yang
ada didalam ruangan ini sedang tidur dengan badan terbungkus sleeping bag, sedangkan
keempat lainnya sedang asyik bermain dengan gadget mereka masing-masing
menunggu dinihari tiba sebelum pendakian dimulai. Setibanya disana kami bertemu
dengan dua orang yang nampaknya tidak punya niatan untuk mendaki, hanya
mengeluarkan sebuah jam dinding putih dengan tanda organisasi mereka. Dengan
ditempeli sebuah kertas putih, bertulis “kenang-kenangan dari PEPALA SMA N 4
Yogyakarta” atau lebih sering dikenal dengan patbhe. Sekolahan itu tidak asing
buat saya karena beberapa teman baik saya alumni dari SMA tersebut dan saya
sering mendengar sedikit cerita tentang patbhe. Setelah menempel jam dinding disalah
satu tiang rumah joglo tersebut, mereka lantas berpamitan dan segera pergi keluar
dengan berkendara sepeda motor. Thanks mamen ... Sudah meninggalkan hal yang
bermanfaat untuk kepentingan bersama para pendaki lain gunung merapi. Kami
berempat berencana untuk memulai pendakian dini hari ini pukul 01.00 jadi masih
punya kesempatan untuk beristirahat selama 2 jam. Tanpa buang waktu untuk
hal-hal yang tidak perlu, akhirnya saya dan ketiga teman memutuskan tidur demi rechargetenaga
sebagai bekal persiapan.
Meminta kepada Tuhan adalah salah satu ritual yang selalu dilakukan
dimanapun kami berada demi mempermudah langkah dalam setiap kegiatan. Bukan
begitu kawan ??? Sama halnya dengan apa yang kami lakukan dini hari ini, berdoa
memohon kepada Tuhan YME semoga langkah ini diperlancar selama pendakian.
Berdo’a mulai!
Kesalahan Fatal
Baru 10 menit berjalan, tiba-tiba satu anggota team kami
merasa ada yang salah dengan kepalanya. Febrina Suci Wulandari atau lebih akrab
kami panggil Suci merasakan pusing yang luar biasa serta perut yang terasa
mual. Dia meminta break untuk berusaha memulihkan tenaga dan kondisinya.
Awalnya saya pribadi belum curiga dengan keadaan Suci, hanya berpikiran
maklumlah pertama kali mendaki gunung harus butuh penyesuaian. Tetapi saya merasa
hal ini benar-benar aneh dan diluar dari kewajaran, memandu orang yang baru
pertama kali mendaki sudah sangat sering saya lakukan tetapi apa yang dialami
oleh Suci baru pertama kali ini terjadi. Belum ada lima menit berjalan setelah
meminta breakdia selalu beristirahat dan pasti duduk lemas tak berdaya.
Rentang waktu berjalan dengan istirahat justru lebih banyak untuk beristirahat.
Lama kelamaan saya terus memperhatikan langkah kaki dan raut wajahnya, tak ada
tenaga di setiap ayunan langkah kaki, gontai tak bertenaga sedangkan wajahnya
pucat senada dengan tatapan mata seorang berputus asa. Walaupun saya dan kedua
teman selalu memberikan semangat dan motivasi yang tanpa henti kepada Suci,
nampak-nampaknya hal ini tidak akan berhasil kalau belum dibenarkan dari awal.
Saya harus berpikir dengan apa yang sedang terjadi kepada Suci, saya harus bisa
mengantarkan dan membawanya kepada puncak merapi. Tapi, itu semua masih jauh
dari harapan yang kami impikan. I say to her, set your mind, free your soul,
break your limits, untuk selalu memberikan dorongan secara moral agar Suci segera
bersemangat. “ayo ci, semangat. Jangan dibuat susah kita disini untuk
bersenang-senang. Semangat! Semangat!” kata-kata macam itulah yang selalu
terdengar selama 2 jam awal perjalanan kami. 2 jam dalam pendakian ini
sungguh-sungguh terasa sangat lama karena kami berempat baru sampai di gerbang
selamat datang yang normalnya hanya ditempuh dalam waktu 30 menit perjalanan normal.
Melihat kondisi Suci yang sudah tidak memungkinkan untuk dipaksa melanjutkan
perjalanan saya selaku team leaderpendakian malam ini memutuskan untuk
beristirahat total demi menjaga kondisinya. Yassinta, Nanda dan saya sudah sempat
khawatir dengan kondisi Suci yang semakin memburuk lemah tak berdaya bahkan
hanya untuk berjalan saja Suci pasti selalu terpeleset karena sudah tak punya
cukup tenaga demi mempertahankan cengkraman pada langkah kakinya.
Tenda yang kami bawa pun segera dikeluarkan dari tas dan dengan
singkat sudah berdiri kokoh, seakan bersiap untuk menampung tuannya yang sudah
membutuhkan hangatnya. Si Nanda dan Yassinta segera mengeluarkan perbekalan
yang sudah dibawa untuk segera dimasak demi memberi tenaga kepada kami
berempat, sementara itu Suci rebahan di dalam tenda berselimutkan sleeping
bag yang mulai menghangatkan tubuhnya. Peralatan masak sudah disiapkan,
rebusan air yang sudah mendidih tinggal kita campur dengan nutris*ri demi
menghangatkan badan dan mengembalikan tenaga. Empat gelas plastik yang dibawa
dari rumah, masing-masing terisi penuh dengan minuman panas menyegarkan di
tangan. Segera saja semuanya minum dengan gelas masing-masing sambil menunggu
rebusan air untuk memasak mie instan mendidih. Sungguh suasana yang tidak akan
pernah kamirasakan jikalau tidak ada malam ini. very special.Bersulang
untuk kawan kita, Suci. cheeerrrssssss ...Makanan pun sudah siap untuk
disantap, hangat ... benar-benar seperti oase di tengah padang pasir yang luas.
Dengan lahapnya kami berempat mengisi perut yang sudah sedari tadi kelaparan
meminta untuk diberi asupan kalori demi pembakaran yang seimbang.
Ternyata keputusan kami untuk berhenti total itu benar. Walaupun
sudah sempat untuk merubah rencana pendakian kali ini dengan kemah ceria,
tiba-tiba terjadi perubahan pada Suci yang kelihatannya sudah mulai segar
kembali. Sudah ada guratan senyum di wajahnya sebuah tanda bahwa jiwa dan
pikirannya sudah menyatu dengan alam.
“Juk, pendakian kali ini tergantung kepada Suci ya, kita bertiga
hanya mendampingi keadaannya yang kurang memungkinkan untuk melanjutkan. Jadi
jangan menyesal jika kita tidak dapat mencapai puncak, kita bisa kembali lain
waktu”. Itulah hal yang sempat saya katakan kepada Yassinta demi
menenangkannya, siapa tahu dia sedikit kecewa dengan keadaan malam ini. Tetapi
dengan santainya, sebuah jawaban melegakan terdengar.
“Santai lho pak. Apapun yang terjadi kita berempat adalah team
yang harus selalu bersama puncak ataupun tidak. Yang penting adalah
kebersamaan, lebih dari itu adalah arti dari sebuah persahabatan. Jadi saya
ikut dengan semua keputusanmu”. Jelasnya dengan penuh bijaksana seakan tak mau
meyinggung perasaan Suci. Gaya bicara yang penuh kehati-hatian atas nama
persahabatan. Maklumlah antara Yassinta dan Suci sudah sedari SMA mereka
bersahabat so tak mudah terlepaskan, layaknya perangko dan amplop.
Nanda, yang sedari tadi cuma diam mulai membicarakan sesuatu
terkait kondisi Suci malam ini. Mulai menerka atau sekadar menganalisa
berdasarkan pemikiran dan perlahan mulai diutarakan. Nada bicara yang nampaknya
ditujukan kepada saya,
Nanda : “Leh, coba perhatikan kondisi Suci selama perjalanan dan
setelah kita beristirahat total”. Serunya dengan sedikit ragu-ragu penasaran.
FYI, (... leh ...) adalah panggilan yang biasa saya dan Nanda gunakan.
Inspirasi dari film Crows Zero yang sempat kami tonton dengan subtittle
bahasa Jawa Semarang an.
Me : “Memangnya kenapa, leh”? sahut saya belum terlalu tertarik
dengan apa yang Nanda maksudkan.
Nanda : “Itu lho coba liat si Suci setelah makan dan minum yang
hangat barusan. Perubahan yang drastis, bukan? Jangan-jangan”? lanjut Nanda
sedikit mulai serius jika dilihat dari nada bicara dan raut wajahnya yang mulai
berbeda.
Me: “Cuma lapar”. Potong saya dengan cepat, sambil terus
memperhatikan Suci secara mendalam. Ternyata memang benar rona dari kedua bola
matanya mulai bersinar terang, guratan renyah juga mulai nampak jelas
diwajahnya. Pemandangan yang selama 2 jam tadi tidak bisa kami lihat sama
sekali, bahkan hanya untuk sebuah senyuman. Justru sebuah kalimat bernada
penyesalan dari Suci yang selalu terdengar mengiringi jalan malam super lambat
kali ini, kira-kira jika dirangkum demikian “Mas, Mbak, aku minta maaf ya. Jadi
merepotkan kalian semua, hanya bisa memperlambat perjalanan ini, menyusahkan,
selalu minta istirahat padahal kan kita jalan belum ada 10 menit”. Berasa tak
tega dengan kejujuran akan kelelahan Suci yang mulai kentara, kami bertiga
selalu berusaha untuk memberikan jawaban bijaksana kepadanya agar tak menjadi
beban pikiran. Kalimat motivasi selalu menjadi penyemangat tanpa henti yang
selalu kami keluarkan demi memberikan suntikan tenaga melalui pola pikirnya.
Karena kami percaya yang lemah itu bukan fisik Suci tapi mental nya, maka dari
itu hanya dengan kata-kata maupun kalimat pendorong, kami selalu berusaha
membantunya untuk menguatkan mental. Karena capai itu pasti maka semangat
adalah pilihan. Semangat Suci !!! If I can, yes ... you can !!! Dream.
Believe. Make it happen. Bahwa keajaiban itu ada, datang di dunia imajinasi
bersama pikiran. Impian adalah sesuatu yang bahkan lebih hebat dari ilmu
pengetahuan, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Datang di dunia
nyata bersama perjuangan dan kerja keras manusia, certamen ergo sum, aku
berjuang maka aku ada.
Nanda : “Kelihatannya begitu, leh”. Papar nanda dengan setengah
guratan senyum lebar.
Yassinta : “Aku juga berpikiran begitu, mas”. Tukas jujuk yang
nampaknya mulai tertarik dengan perbincangan kami berdua. Seketika kami bertiga
saling bertatapan muka, untuk meyakinkan tentang apa yang telah dibicarakan.
Dan ... Dalam sepersekian detik kami bertiga mulai sedikit tertawa yang juga
diikuti oleh Suci. Dalam diam ternyata teman kami yang sedari tadi tak berdaya
mendengarkan perbincangan kami bertiga, sampai akhirnya memang dia sudah larut
dalam keceriaan. Tak ada lagi wajah pucat ataupun tatapan suram, sekarang
adalah Suci sang penari energik yang kami kenal sudah 100% fit. Hahaha ...
Sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan dalam mencari jawaban
selama 2 jam awal pendakian. Yap ... kondisi perut yang kelaparan memang
menjadi petaka selama perjalanan. Anehnya, ketika kami tanya kepada Suci kenapa
dia tidak berterus terang kalau sedang menahan lapar, tahukah anda apa jawabnya
??? “Lha, tadi nggak enak kok mas kalau mau bilang”. Jawaban yang sangat polos
bukan ??? hahaha ... benar-benar kesalahan fatal yang luput dari perhitungan.
Bisa menjadi evaluasi untuk siapa saja jika berkaca pada hal yang telah terjadi
kepada rombongan kami ini. Jangan pernah menganggap remeh dengan kondisi perut,
pasalnya jikalau perut sedang kosong maka secara logika tidak akan ada
pembakaran kalori yang akan dirubah menjadi tenaga untuk tubuh kita. Padahal
kita sedang melakukan aktifitas berat yang membutuhkan banyak sekali tenaga,
nah ... kalau tidak ada pembakaran ??? Gimana coba ???
Break Your Limits
Welcome back Suci ... Senang sekali rasanya dapat melihat anggota team
kami kembali dalam perform terbaiknya, setidaknya hal yang demikian ini
dapat menambahkan semangat terhadap semua anggota rombongan. Tanda-tanda bahwa
keadaan Suci mulai membaik semakin jelas terlihat ketika semburat jingga
kekuning-kuningan mulai muncul di seberang sana, jauh di depan mata tetapi
nampak begitu dekat jikalau dirasa. Teropong besar bermerk nik*n yang dibawa
Suci segera dikeluarkan untuk memperpendek jarak pandang dengan titik bidikan.
Diikuti dengan suasana yang mulai menerang kami berempat saling bergantian
memicingkan mata di depan lensa teropong, untuk segera melihat pemandangan yang
begitu indah dari segala lini dengan lebih dekat. Sinar malu-malu sebelum
cahaya di ufuk timur seakan menjadi pendorong semangat kami untuk segera
memulai hari dengan sepenuh hati. Matahari pagi menginspirasi setiap langkah
kaki untuk memulai hari baru dengan harapan setiap langkah yang lebih baik
daripada hari kemarin. Sungguh menakjubkan ciptaan Tuhan jika kita bisa melihat
lebih dan lebih dekat lagi. Sama halnya dengan apa yang saya rasakan ketika
melihat janin matahari pagi yang bulat sempurna secara perlahan muncul ke
permukaan dengan radiasi engergi positif yang luar biasa, dibalik lensa
teropong. Cerahnya cahaya sedikit menyilaukan kedua bola mata, namun dengan
kedua bola mata itu pula kita selaku manusia akan dengan sepenuh hati menerima
kehadiran-Nya, jikalau memang membuka hati untuk menerima. Tak bisa
berkata-kata hanya tertegun mensyukuri agungnya ciptaan Tuhan YME. Maha Besar
Engkau Tuhan ...
Setelah cukup puas dengan apa yang telah dilakukan masing-masing
dari kami segera berbenah diri guna melanjutkan langkah kaki, karena Suci yang
sudah kembali dalam 100% mengajak semua anggota rombongan untuk meneruskan
perjuangan. “Fighting is not over“ !!! Silih berganti mencari toilet
yang dianggap cukup privacy, saya pun tak ketinggalan segera menuju titik sepi
demi ritual panggilan alam. Kesimpulannya adalah, “toilet with the best ever
view I have”. Hahaha ... Pernah nggak punya toilet dengan landscape
secara langsung cerahnya gunung merbabu, langsung di depan mata lo secara
terbuka ??? Kagak bakalan lo dapetin deh, kalau cuma duduk diam dirumah ... hehehe
. peace !!!Inilah salah satu hal yang tidak akan pernah kita lupakan
sepanjang hidup kita, bahasa kerennya adalah “moments to remember”.
Jarum jam telah melakukan kombinasi yang sangat baik layaknya
pasangan emas jika kita mengutip istilah dalam dunia sepakbola. Dahulu sewaktu
saya masih SD ada sebuah film kartun dari Jepang bertema sepakbola, captain
tsubasa.Captain tsubasa selaku aktor utama mempunyai teman bermain dalam
satu team yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata mengolah si kulit
bundar, misaki. Karena bentuk permainan dan kerjasama yang sangat cantik
antara kedua pemain ini, tak ayal semua teman-temanya menjuluki mereka sebagai
pasangan emas. Ya ... pasangan emas, tsubasa dan misaki. Sebuah film kartun
asal Jepang dalam rangka menyambut piala dunia sepak bola tahun 2002, telah
berhasil menyita perhatian dunia kala itu. Sementara kerjasama pasangan emas
dalam dunia waktu diwakili oleh kedua jarum jam, jarum pendek dan panjang.
Kombinasi yang selalu bersesuaian dengan waktu yang sesungguhnya ini selalu
menjadi panduan bagi setiap orang dalam melakukan aktifitas sehari-harinya.
Seperti pagi ini jarum pendek yang berada ditengah-tengah angka 6 dan 7,
diikuti dengan jarum panjang secara tegas menunjuk angka 6, membuktikan bahwa
pagi ini cuaca memang sangat cerah dengan cahaya kuning keemasan memulai hari
indah. Dirasa semua sudah siap dengan perbekalan yang sudah dikemas dalam
sebuah tas daypackeig*r, akhirnya pagi hari ini 28 Agustus 2013 kami
berempat melanjutkan perjalanan, melangkah lebih dan lebih tinggi atas nama
persahabatan. Semangat kakak ... !!!
Gunung merapi dengan ketinggian 2998 mdpl setahu saya mempunyai 3
jalur pendakian, via Selo Boyolali, Deles Klaten, dan Kinahrejo Sleman. Namun
pasca erupsi yang terjadi pada tahun 2010 yang menewaskan Mbah Marijan selaku
juru kunci gunung merapi tersebut, ternyata juga membawa dampak buruk bagi dua
jalur pendakian untuk mencapai puncak merapi yaitu via Deles Klaten dan
Kinahrejo Sleman. Kedua jalur pendakian tersebut rusak dan tidak bisa dilalui
lagi oleh para pendaki karena terjangan awas panas atau wedhus gembel yang kala
itu mengarah ke sebelah selatan gunung merapi. Selain itu pasca erupsi 2010
telah membentuk kawah yang sangat besar di puncak merapi hingga menghancurkan
suatu puncak idaman yang telah melegenda di pucuk merapi, puncak garuda.
Alhasil sekarang ini hanya tersisa satu jalur pendakian menuju puncak merapi,
via Selo Boyolali sisi utara dari gunung merapi dengan puncak sisa-sisa erupsi
2010. Teman saya pernah berkata, “jika kamu bisa mencapai puncak merapi sebelum
matahari terbit, kemungkinan besar kamu akan melihat kawah merapi dengan api
yang menyala, atau bisa disebut lahar”. Namun sampai sekarang ini saya belum
pernah menginjakkan kaki di puncak merapi sebelum matahari terbit karena setiap
kali sampai di titik pos terakhir atau pasar bubrah lebih memilih untuk melihat
sunrise dari pasar bubrah, antara 1 - 1,5 jam sebelum puncak. Sedangkan
untuk summit attack lebih memilih dilakukan dikala matahari sudah
bersinar sehingga dapat menunjukkan jalur dengan sangat jelas tanpa alat bantu
penerangan. Untuk teman-teman ketahui bersama bahwa bentuk dari puncak merapi
seluruhnya adalah batu dan pasir. Mulai dari batu-batu besar yang bisa menggelinding suatu saat hingga
pasir-pasir lembut yang sangat licin bagi langkah kaki kita. Bentuknya sama
persis dengan puncak gunung semeru atau yang kita kenal sebagai mahameru. Bagi
teman-teman yang sudah pernah melihat film 5cm pastilah sudah tahu bagaimana
bentuk dari puncak gunung semeru hanya saja kalau di puncak gunung merapi
ukurannya lebih kecil, kalau menurut hitungan kasar saya puncak gunung merapi ¼
dari puncak gunung semeru. Jadi bagi teman-teman yang punya mimpi untuk mendaki
di gunung semeru, sangat saya sarankan untuk terlebih dahulu latihan di gunung
merapi. Sekalian berkenalan dan merasakan jenis track yang nanti akan
ditemui di gunung semeru supaya tidak kaget.
Kata orang gunung merapi itu kecil-kecil cabai rawit, walau kecil
tetapi sangat menantang. Bagaimana tidak, dengan kondisi puncak yang semacam
itu panas gersang tanpa pepohonan, hanya dipenuhi dengan batu-batu tajam yang
tidak ada tempat datar. Ditambah lagi jalur pendakian sedari basecamp
barameu sampai di pos terakhir atau pasar bubrah sama sekali tidak ada track
datar, nanjak terus tak kenal kompromi. Ditambah lagi musim kemarau semacam
ini, jalur berdebu dipenuhi kerikil yang sudah bersiap kapan saja menjegal
langkah kita. Debu-debu yang berterbangan sangat mengganggu pernapasan dan
membuat mata iritasi, sedangkan kerikil-kerikil kecil siap membuat langkah kita
tergelincir atau terpeleset jika kehilangan fokus. Karena ada sedikit hambatan
yang terjadi malam tadi memaksa kami harus mendaki gunung merapi disiang hari
yang sangat panas ditemani terbangan debu dan sisa-sisa abu vulkanik dari
letusan kecil beberapa saat yang lalu. Untungnya saya sudah mengintruksikan
kepada teman-teman yang lain untuk membawa masker demi menutupi mulut dan hidung
supaya terhindar dari kemungkinan untuk menghirup debu dan abu vulkanik.
Terkhusus untuk saya pribadi, saya selalu membawa penutup kepala untuk
menghindarkan debu dan abu vulkanik dari rambut saya yang panjang. Setiap
langkah kaki yang kami ayunkan pastilah menimbulkan dampak yang kurang
menguntungkan untuk teman yang berada dibelakang karena kumpulan debu dan abu
yang berterbangan segera saja mengganggu titik pandang. Mulailah berhati-hati
dengan langkah demi menjaga teman lainnya atau kalaupun terpaksa memang harus
jaga jarak supaya jangkauan dari debu dan abu tidak mengganggu. Beberapa saat
jalan kami dihadapkan pada pertigaan yang membagi jalur menjadi 2, ambil kekiri
adalah jalur kartini dengan tipe sedikit landai namun memutar sedangkan kalau
kita tetap lurus akan menemui tanjakan-tanjakan yang hampir setinggi perut
bahkan sampai sedada kita. Kedua jalur memisah tadi akan mempunyai titik temu
di pos 1 jalur pendakian dengan ditandai adanya beberapa batu besar yang
mempertemukan pertigaan jalan. Ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang sangat
panas memaksa kita harus selalu menenggak air secara teratur demi menjaga tubuh
kita dari ancaman dehidrasi, 5 botol air mineral besar kita persiapkan demi
menjaga kondisi tubuh kita selain itu berbagai macam snack dan susu pun tak
lupa juga kami bawa.
monyet di pos 1 |
Semua anggota team dalam kondisi yang 100% fit tentunya juga
membawa dampak yang baik dalam pendakian kali ini, bagaimana tidak perjalanan
yang sempat terhambat karena kesalahan teknis sudah berangsur-angsur lancar dan
normal. Sesampainya kami di pos 1, betapa kagetnya saya ketika menemui seekor monyet
yang sedang memperhatikan rombongan ini saat semuanya beristirahat. Inilah
pengalaman pertama saya melihat seekor monyet liar didepan mata secara
langsung. Cukup besar untuk seekor monyet yang ternyata mengikuti rombongan ini
dengan cara melompat dari satu pohon ke pohon lain. Sejujurnya saya sedikit
takut dengan kedatangan monyet itu, secara daerah ini adalah habitat aslinya,
hutan luas tanpa batas. Bukan tidak mungkin jikalau si monyet sedang kelaparan
bisa menyerang kami kapanpun tak terduga, tapi syukurlah tak ada gangguan dari
monyet tersebut. Sempat berniat untuk memberinya sedikit makanan yang saya
bawa, namun karena teman-teman yang lain melarang akhirnya saya urungkan niatan
itu. Bukannya apa-apa Cuma ditakutkan setelah diberi makan monyet yang
sendirian itu justru akan mengundang kedatangan teman-temannya yang kemungkinan
besar akan merepotkan kami sendiri selama perjalanan nanti. Dengan track
yang mulai berbatu dan panas matahari yang sangat terik menampar kulit, monyet
tadi terus mengikuti rombongan ini sampai akhirnya terpisah dengan beberapa
lemparan batu-batuan kecil yang cukup ampuh menakutinya. Setelah berhasil
mengusir si monyet ketegangan yang tadi sempat kami rasakan ternyata juga
secara perlahan ikut menghilang. Hingga tak terasa jalan berbatu terjal yang
kami lewati dengan susah payah dan penuh kehati-hatian, membawa langkah ini
untuk menginjakkan kaki di pos 2. Ditandai dengan adanya tiang setinggi 1 meter
yang terbuat dari beton, seakan membawa angin segar buat kami yang telah
bergulat dengan peluh untuk meloloskan diri dari track batuan. Semenjak
dari pos 1 tadi moyaritas jalur untuk berpindah ke pos 2 adalah tanjakan curam
dengan batuan-batuan goyah yang pasti bergerak jikalau terpijak. Bukan hanya 1
atau 2 batu, melainkan puluhan bahkan ratusan bebatuan sebesar bola tenis atau
lebih. Tak sekadar fisik kuat dan fokus tinggi yang harus kita kuasai namun
perlengkapan pendukung dalam pendakian juga harus dimiliki. Sepatu atau sandal
yang kokoh dengan alas yang tidak licin saat menginjak bebatuan adalah faktor
pendukung lain untuk memperlanjar perjalanan kali ini selain fisik dan fokus
yang baik.
calm |
let me "teropong" you Merbabu |
#3 |
Cuaca yang sangat cerah dengan sinar matahari yang sepenuh hati
menarik perhatian kami untuk sejenak berhenti demi berfoto dengan view
yang begitu indah. Diatas batuan yang sangat besar sepanjang track
menuju pos 2, kami berempat bergantian untuk saling berfoto dengan gaya dan
pose terbaik. Tak cukup hanya sekali tapi beberapa jepretan kamera memanglah
wajib untuk di tunaikan, mengingat pemandangan yang memang luar biasa indah
dibarengi dengan sinar matahari pemberi energi. Beberapa gaya berfoto dengan
ciri membelakangi kamera dan menatap tajam gunung merbabu, nampaknya adalah
pose terfavorit. Ditambah lagi dengan teropong yang kami bawa, rasa-rasanya
gaya kami berfoto kali ini kian sempurna, jika dikonversi setara dengan kelas
fotografer dan model amatiran. Tapi tak apa, kami bukanlah fotografer atapun
model majalah petualangan cukup wajar kiranya jika hasilnya tak sesempurna
seperti ekspektasi dari ilmu fotografi. Kegiatan yang kami lakukan ini tetap
berlanjut sampai menemukan sebuah tempat yang sedikit teduh 30 menit sebelum
pos terakhir atau pasar bubrah. Tetap bersemangat selama perjalanan walau
jalannya sangat dan begitu menantang, tetapi juga tidak pernah kelupaan untuk
selalu mengabadikan setiap titik-titik potensial dalam bingkai layar kamera.
Semua yang sudah kami lakukan sampai sejauh ini serasa berbanding
terbalik dengan beberapa jam yang lalu. Dimana beberapa jam yang lalu dengan
cuaca yang bersahabat dan track yang masih wajar tetapi kami semua
berasa pincang dalam perjalanan, tetapi siang hari ini dengan track yang luar
biasa ganas penuh tanjakan terjal yang diimbangi dengan bebatuan kecam nyatanya
perjalanan kali ini justru terasa lebih baik dan lebih lancar. Dengan kadar
kualitas semangat penuh juang yang sudah jauh berbeda kami berempat semakin
kompak dalam meneruskan langkah, tak pernah goyah, dan tetap termotivasi oleh
mimpi-mimpi di tanah tertinggi gunung merapi. Bagi kedua teman kami, ini adalah
salah satu hal penting dalam hidup mereka. Salah satu sejarah yang bisa mereka
ciptakan demi bekal dihari depan, bahwa masih ada wanita-wanita (baca: Yassinta
dan Suci) dengan semangat juang tinggi dan rela keluar dari keseharian mereka
yang sudah nyaman, ya berani keluar dari comfort zone hanya demi sebuah
pengalaman baru yang tidak akan pernah bisa untuk dilupakan, pengalaman baru
yang penuh juang bersama kawan-kawan seperjuangan. Saya percaya jika setiap
orang pasti punya keterbatasan dalam hidup mereka, bukan bermaksud untuk
mengeneralisasikan namun sebagian besar dari perempuan mempunyai fisik atau
tenaga yang masih dibawah dari kebanyakan pria. Sebagian besar dari mereka
selalu minder atau mudah berputus asa jika harus berhadapan dengan aktifitas
yang melibatkan fisik. Mungkin dengan alasan, “aku kan cewek jadi wajar dong”,
“gak mau ah, takut keringatan nanti bau dong”, klasik memang tetapi itulah yang
sering terjadi disekitar kita. Tidak perlu jauh-jauh deh, coba teman-teman
ingat kembali sewaktu SMP atau SMA ketika jam olahraga tiba dan guru olahraga
meminta semua murid untuk berlari memutari lapangan, teman-teman pasti bisa
memperhatikan apa yang mayoritas teman-teman perempuan lakukan ??? Tetapi apa
yang terjadi disini adalah sebuah kisah perjuangan luar biasa, walaupun sudah
berpeluh dengan keringat dan fisik yang melemas ditambah dengan kejadian
semalam, tekad kuat dari Suci sudah bisa menembus semua keterbatasan yang dia
miliki. Sikap mental yang tangguh ternyata mengalahkan segala keluhan fisik
yang sebenarnya belum menemui batasnya. Disini Suci membuktikan bahwa dia mampu
untuk menembus batas, mampu mengalahkan kemanjaan dalam fisiknya dengan
perlawanan dan tekad kuat dari sikap mentalnya. Yeah ... Break Your Limits
!!!
isn't about gender |
Sebagai kawan yang bisa kami bertiga lakukan hanyalah memberikan
motivasi demi membakar semangat juang. Jika ditanya apakah kami capai, dengan
tegas kami jawab, ya! Tetapi jauh lebih
penting dari hanya sebuah jawaban apakah capai atau tidak adalah, kami harus
bisa menempatkan diri sebagai sosok yang bisa Suci percaya. Dia sudah kacau,
jika harus ditambah dengan melihat kondisi kita yang juga terlihat kacau,
pastilah didalam dirinya tidak akan termotivasi karena tidak menemukan sosok
yang bisa menenangkan psikisnya. Maka dari itu secapai apapun kita, di depan
teman yang sedang membutuhkan motivasi demi membangkitkan semangat juang, kita
harus terlihat segar dan tetap tenang dalam menghadapi susuatu. Sikap mental
kita akan mempengaruhi pola pikir anggota team yang lain, jika terus
bersikap tenang dan tak mudah mengeluh akan keadaan, saya yakin hal yang
demikian ini akan bisa mentransfer energi positif ke anggota team yang lain.
Sekali lagi saya tegaskan, “if I can, yes ... you can”!!! Bukan gender
yang membedakan keberhasilan kita (baca: mendaki gunung) tetapi mental dan
semangat juang. Tidak peduli kamu laki-laki atau perempuan, bertenaga atau
tidak, dewasa atau belia, selama sikap mental kamu positif rasa-rasanya tidak
ada alasan untuk mundur sebelum tercapai puncak idaman.
Pasar Bubrah (Lembah Kekejaman)
Watu gajah adalah deretan dan tumpukan batuan yang sangat besar
sebelum mencapai pos terakhir jalur pendakian gunung merapi yaitu pasar bubrah.
Mulai dari titik ini, track yang akan kita lalui kedepannya hanyalah
bebatuan terjal tanpa ada pepohonan. Jangan berharap kita bisa menemui
pepohonan untuk berteduh atau sekadar melepas lelah, karena semua itu bagai
fatamorgana dibawah terpaan sinar matahari yang sedang memuncak. Ya, kami
berempat berdiri di tempat ini tepat jam 10.30 ketika melihat sebuah monumen
kenangan seorang pendaki yang berpuluh tahun lalu gugur ketika berusaha mendaki
puncak merapi. Achmad Al Habsji, Paulus Haryo Sulaksono dan Arseno
menghembuskan nafas terakhir mereka dalam rangkaian pendakian pada tanggal 1-3
Maret 1977. Mereka bertiga adalah anggota dari organisasi Pelajar Pecinta Alam
SMA N 4 Yogyakarta atau patbhe, senior dari 2 orang yang tadi meninggalkan jam
dinding di basecamp barameru. Kita do’akan semoga amal kebaikan mereka
diterima oleh Tuhan YME dan ditempatkan disisi terbaiknya. Sebuah tanda bahwa
gunung merapi bukanlah gunung yang ramah untuk pendakinya, rasanya sudah sangat
jelas tergambarkan jika diperhatikan bentuk puncak merapi dari pasar bubrah.
Area yang sangat luas dengan ribuan atau bahkan jutaan bebatuan bervariasi dari
pasir lembut sampai batu besar tajam berantakan menyebar. Disamping monumen
kenangan yang sengaja dibangun oleh PEPALA patbhe, berdiri sebuah tiang bendera
dengan merah putih yang sedang berkibar. Seingat saya pada tanggal 17 Agustus
2013 kemarin waktu digelar upacara kemerdekaan, letak dari tiang bendera
tersebut berada di tengah-tengah lapangan pasar bubrah, berdiri dengan lapisan cor semen sebagai penyangga tetapi ketika
saya kembali lagi ketempat ini ternyata tiang bendera sudah dipindahkan
disamping monumen kenangan. Atau mungkin juga dari PEPALA patbhe yang sengaja
memindahkan karena jika dilihat dari bentuk monumen yang masih basah, semacam pasca
renovasi. Padahal waktu upacara kemerdekaan RI yang ke 68 kemarin bentuk
monumen kenangan belum serapi seperti sekarang ini. Ketika sedang beristirahat
minum sambil sedikit mengeluarkan snack yang sudah kami bawa, tiba-tiba
terdengar suara dengan nada kalimat perintah halus.
100% fit |
berasa orasi ... |
PEPALA patbhe |
coba menenangkannya ... |
few of the track |
respect!!! |
Nanda : “Yo, kono gek mapan”. Sepontan balas nanda yang kebetulan
memang sedang memegang kamera. Dengan gerakan dan keahliannya dia mulai mencari
angle terbaik demi menghasilkan karya terbaik pula dari tangan
dinginnya. (baca: ya, sana segera menempatkan diri)
Suci : “Meneh, mas”. Seru Suci yang merasa belum cukup dengan 1
jepretan yang sudah dihasilkan, sambil terus berganti gaya tanpa kembali
memberi instruksi. Dan tanpa membalas seru dari Suci, Nanda pun dengan tekun
juga tetap memberikan yang terbaik dengan kamera di tangannya. (baca: lagi,
mas)
Disaat Suci, Nanda dan Saya sedang asyik berfoto ternyata Yassinta
sedang duduk sendiri dibalik monumen kenangan dengan teropong di depan kedua
matanya. Nampaknya dia sedang asyik dengan jarak pandang yang mulai mendekat
dari balik teropong tersebut, terbukti dia tak menghiraukan sesi foto yang
sedang kami jalani. Berniat untuk mengganggu keseriusannya tiba-tiba dia
bergumam,
Yassinta : “Astaga ... susahnya”. Gumamnya sambil terus fokus dan
tetap tenang dengan teropong canggih itu. Jika dilihat dari bentuk, fungsi dan
merknya, saya yakin harganya mahal.
Me : “Kenapa, juk”? Sahut saya sedikit kaget karena memang saya
sebenarnya akan secara perlahan mengganggu konsentrasinya.
Yassinta : “Itu pak”. Balasnya singkat tanpa menoleh ke saya sambil
tangan kirinya menunjuk ke arah depan yang kelihatannya tertuju pada
titik-titik kecil jauh di depan sana. “Kok harus terpeleset terus. Kok
terkadang jalannya benar-benar merangkak. Kayaknya licin deh”? lanjutnya tetap
dalam diam dengan penuh tanda tanya yang belum terjawab sedari tadi dia
bertanya. Saya yang mulai nyambung dengan apa yang jujuk bicarakan, mulai
perlahan menjelaskan.
Me : “Oh ... itu. Tenang saja bukan apa-apa, tidak masalah juk, take
easy”. Coba menenangkan pikirannya sambil duduk disampingnya. “Jalurnya
memang semacam itu penuh dengan pasir-pasir lembut, kerikil-kerikil tajam,
bahkan bebatuan sebesar bola tenis atau lebih. Tapi jangan khawatir kita tidak
akan menerjang tumpukan batu super besar itu melalui tengahnya, kita akan
melewatinya sedikit memutar kekiri untuk menghindari pasir-pasir yang mereka
lalui”. Sambil terus menjelaskan, jujuk tetap memandangi pendaki jauh di depan
sana yang sedang sangat kesusahan untuk meneruskan langkahnya. Betapa tidak
dengan 3 ayunan yang kita lakukan, 1 atau 2 langkah akan kembali ke belakang
karena memang kita berjalan melewati pasir-pasir lembut bercampur
kerikil-kerikil tajam. Tak jarang juga ketika kita sudah susah untuk berdiri,
merangkak dengan kedua tangan adalah pilihan terbaik yang bisa kita lakukan
untuk terus bisa bertahan di tengah-tengah keputus asaan.
Yassinta : “Lha, terus aku nanti gimana”? Selanya dengan raut wajah
yang sedikit mengharapkan belas kasihan, seakan belum percaya dengan apa yang
tadi dilihatnya dibalik lensa teropong. “Bisa apa aku nanti, itu aja ada
mbak-mbaknya yang hanya duduk diam karena sudah tidak bisa bergerak lagi. Tadi sempat
aku lihat dia terpeleset dan hampir berguling kebawah, untungnya ada rombongan
di belakangnya yang masih bisa menahan”. Sambungnya dengan nada bicara yang
semakin memelan.
Me : “Hahaha ... Santai to juk, kita nanti gak lewat jalur mereka.
Kita akan melewati jalur yang jauh lebih mudah dan aman walaupun sedikit
memutar. Gak seperti mereka jalur yang akan ki lalui, coba lihat ke depan
sebelah kiri. Nah ... kita akan sedikit memutar kekiri melewati balik dari
pasir-pasir tersebut, bukannya malah menerjangnya”. Papar saya santai dengan
senyuman karena tak tahan melihat kekhawatiran bercampur ketakutan yang sangat
jelas terlukis di wajah jujuk. “Udah sini gantian teropongnya”. Pinta saya
secepat kilat dengan maksud dia tidak terpaku melihat ke atas yang justru
membuatnya parno. Sungguh pemandangan yang sangat ganas, luar biasa garang nan
menantang. Inilah pendakian yang sesungguhnya akan segera dimulai, keganasan
merapi sudah mulai terkuak. Hanya dengan kejauhan sudah akan menurunkan mental
para pendaki yang tidak cukup berani untuk mendaki. Di antara celah-celah
bebatuan besar nan jauh di depan sana terdapat beberapa hembusan asap yang
sedari tadi tak pernah berhenti. Itulah yang dinamakan hembusan asap belerang,
bau nya yang menusuk hidung memaksa kami harus memakai masker jika jarak sudah
semakin dekat.
Di area pasar bubrah yang maha luas ini, manusia bukanlah apa-apa. Tidak bisa dibandingkan dan tak akan pernah sebanding dengan luas dan salam sapa nya yang begitu kasar kepada para pendaki. “Keberanian terbesar bukanlah berani mati, tetapi berani bertahan hidup”. Sangat mudah jika kita ingin mati disini, tinggal lompat ke tebing dan semua berakhir. Tetapi jiwa seorang pendaki gunung bukanlah bermental tempe, pendaki mempunyai mental baja yang selalu terasah setiap kali berjuang dalam mencari keindahan yang hakiki, keindahan yang benar-benar diciptakan oleh Tuhan. Tak mudah memang, tapi itu semua adalah pilihan. Jalan hidup seorang yang punya hobi mendaki gunung. Makadari itu disini bukanlah tempat kita untuk menyerah, disinilah titik dimana kita harus bangkit benar-benar berjuang dan mulai sadar bahwa manusia itu ciptaan Tuhan yang maha sempurna. Walaupun ditempat ini kita semua kecil, tetapi percayalah mental kita jauh lebih besar dari pada gunung itu, jika mau percaya pada-Nya. Namun percaya bukanlah kesombongan, sekali kita merasa sombong bukan tidak mungkin itu semua menjadi petaka buat kita. Orang yang sombong selalu menempatkan pola pikirnya dengan menganggap semua hal itu mudah. Tetapi orang yang percaya akan mendapatkan kemudahan, bukan menganggap mudah. “No need to be arrogant cause we are nothing here”. FYI, nama lain dari pasar bubrah adalah pasar setan. Tahu gak kenapa pasar setan, ada kata pasar dan ada kata setan. Berarti maksudnya adalah ... ??? hahaha ...
susahnya medan |
membelah pasar bubrah |
ganas memang |
Di area pasar bubrah yang maha luas ini, manusia bukanlah apa-apa. Tidak bisa dibandingkan dan tak akan pernah sebanding dengan luas dan salam sapa nya yang begitu kasar kepada para pendaki. “Keberanian terbesar bukanlah berani mati, tetapi berani bertahan hidup”. Sangat mudah jika kita ingin mati disini, tinggal lompat ke tebing dan semua berakhir. Tetapi jiwa seorang pendaki gunung bukanlah bermental tempe, pendaki mempunyai mental baja yang selalu terasah setiap kali berjuang dalam mencari keindahan yang hakiki, keindahan yang benar-benar diciptakan oleh Tuhan. Tak mudah memang, tapi itu semua adalah pilihan. Jalan hidup seorang yang punya hobi mendaki gunung. Makadari itu disini bukanlah tempat kita untuk menyerah, disinilah titik dimana kita harus bangkit benar-benar berjuang dan mulai sadar bahwa manusia itu ciptaan Tuhan yang maha sempurna. Walaupun ditempat ini kita semua kecil, tetapi percayalah mental kita jauh lebih besar dari pada gunung itu, jika mau percaya pada-Nya. Namun percaya bukanlah kesombongan, sekali kita merasa sombong bukan tidak mungkin itu semua menjadi petaka buat kita. Orang yang sombong selalu menempatkan pola pikirnya dengan menganggap semua hal itu mudah. Tetapi orang yang percaya akan mendapatkan kemudahan, bukan menganggap mudah. “No need to be arrogant cause we are nothing here”. FYI, nama lain dari pasar bubrah adalah pasar setan. Tahu gak kenapa pasar setan, ada kata pasar dan ada kata setan. Berarti maksudnya adalah ... ??? hahaha ...
Summit Attack of Merapi
Sedari awal pendakian sampai sekarang berdiri di titik ini posisi
Nanda selalu saya tempatkan di paling belakang sebagai sweeper. Sedangkan
saya didepan dengan diikuti kedua anggota cewek, saya bertugas untuk mencari
jalan yang kemudian akan dilanjutkan oleh teman-teman di belakang. Maka dari
itu saya harus selalu mencari jalan terbaik dan termudah untuk meyakinkan
teman-teman yang mengikuti jalan ini akan aman. Salah satu pencarian jalan
terpenting selama mendaki gunung merapi adalah memilih jalan terbaik untuk
menuju puncak dari campsite terkahir. Jika kita salah memilih jalur
ditempat ini, bukan tidak mungkin itu semua akan menjadi boomerang
tersendiri buat kita. Sebagai pioneer saya harus memastikan jalan yang
sudah dipilih adalah jalan yang benar dan tidak berpotensi menyusahkan.
Berjalan membelah lembah bebatuan tajam yang luas sampai akhirnya mengantarkan
kami disebelah kiri track puncak merapi. Jalan itulah yang akhirnya kami
pilih untuk mencapai puncak merapi. Setelah melalui 10 menit awal dengan jalan
datar, mulailah kita akan berjuang dengan keras untuk yang selanjutnya.
Tumpukan bebatuan rapuh yang terpaksa harus kita lalui menjadi salah satu jalan
pembuka yang akan mengarah pada track seterusnya yang semakin menanjak
melewati pasir-pasir licin. Baru 3 langkah kaki ini mengayun ternyata longsoran
kerikil-kerikil kecil sudah terlihat nyata di depan mata, seolah sebuah
pertanda bahwa perjalanan terakhir inilah yang memang benar-benar menyusahkan. Beberapa
saat bertempur dengan peluh track pembuka yang cukup menguras tenaga,
sampailah kaki ini di jalur yang hanya dipenuhi batu. Namun bukan kerikil yang
dihadapi, melainkan batu-batu besar yang harus dipanjat. Batu-batu yang setiap
saat bisa menggelinding dengan ganasnya dari atas ke bawah, tanpa kewaspadaan
dan kehati-hatian bukan tidak mungkin langkah kita ini mengancam nyawa orang
lain. Coba teman-teman bayangkan jika ada batu sebesar bola tenis menggelinding
dari atas, jika batu tersebut mengenai tangan kemungkinan besar dengan mudah
tangan kita akan patah atau paling tidak cidera parah. Pasalnya jalur yang dilalui
kali ini mempunyai sudut kemiringan hampir 45 0 dengan kata lain
ketika kita menemui tanjakan, lutut bisa bertemu dengan wajah. Itu jikalau batu
hanya terkena tangan kita, bagaimana kalau batu yang menggelinding dengan
kecepatan penuh ini terkena kepala para pendaki lain dibawah kita ??? Apapun
bisa terjadi di tempat ini jika salah satu pihak kehilangan kontrol akan
langkahnya !!!So ... Please, for everyone pay more attention with your steps. Jangan
lupa juga untuk memberikan peringatan kepada teman-teman pendaki lain yang ada
dibawah dengan teriakan sekeras mungkin kalau memang ada batu yang meluncur
kebawah. Untunglah siang hari ini tidak ada pendaki lain yang melewati jalur
ini, hanya 2 rombongan yang mendaki puncak merapi. Satu rombongan di depan kita
namun berbeda jalur, sedangkan rombongan yang satunya adalah kami. Sehingga
kami merasa benar-benar beruntung bisa menikmati puncak merapi dengan suasana
yang sepi. Selain itu juga mengurangi resiko membahayakan nyawa orang lain,
karena memang tidak ada pendaki yang melewati track ini kecuali kami.Tak
cukup hanya dengan menggunakan kedua kaki untuk melewati jalur ekstrim ini,
kedua tanganpun harus dengan aktif dilibatkan untuk memastikan batu sebagai
titik pijakan, aman. Cengkraman tangan yang kuat serta pijakan yang kokoh
adalah kunci utama bagi kita untuk meminimalkan kemugkinan cidera. “you can
cause you think, you can”.
benar-benar ini jalannya |
satu rombongan lain menemani kita |
garis kecil dibawah adalah pasar bubrah |
Setelah berjuang dengan sepenuh tenaga dan fokus yang tak pernah
hilang dari pikiran, terlihatlah sepetak bebatuan yang cukup datar memanjang
sebagai pertanda bahwa itulah titik tujuan. Teringat beberapa jam yang lalu
dimana kita sedang bersusah payah membangun kekompakan, jatuh bangun karena tanjakan,
gontai tak berdaya karena kelaparan, hingga akhirnya kita menapakkan kaki ini
di titik tertinggi puncak merapi. Seakan Tuhan merestui langkah ini, gumpalan
awan putih tebal pun menyertai ketika kami berhasil mencapai puncak tertinggi.
Negeri di atas awan, sungguh sangat dekat sekali hingga rasanya begitu mudah
untuk bersentuhan langsung dengan awan. Tak mudah jika harus diterjemahkan
kedalam bahasa karena apa yang kami lihat benar-benar menunjukan kuasa-Nya. Keindahan
yang luar biasa sempurna untuk bisa dinikmati oleh seorang anak manusia,
suasana yang membuat kita berasa lebih dekat bahkan berdialog dengan Tuhan.
“Terkadang untuk bisa lebih bersyukur, kita harus datang lebih dekat kepada
Tuhan”. Sebagai manusia yang tidak lebih besar dari debu di alam raya ini,
alangkah mulianya jika kita bisa terus bersyukur akan apa yang telah Tuhan
berikan kepada kita semua sampai detik ini. “Keindahan bukanlah apa yang kita
lihat ataupun dengarkan, melainkan apa yang kita rasakan”. Untuk bisa menikmati
semua keindahan ini, akan jauh lebih berarti jika kita menggunakan hati
daripada mata ataupun telinga. Tanpa ada gangguan tanpa ada kebisingan yang ada
hanya ketenangan, sungguh waktu yang sangat tepat untuk bisa menikmati keindahan
hidup yang hakiki.
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari ...
Demi bulan apabila mengiringi ...
Demi siang apabila menampakkan ...
Demi malam apabila menutupi ...
Demi langit dan pembinaannya ...
Demi bumi dan penghamparannya ...
Dan demi jiwa serta penyempurnaannya ...
Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan
Allah. Allahu Akbar ... Puncak !!! Puncak !!! Puncak !!!
Bukan saya, Nanda ataupun Yassinta yang memimpin rombongan ini
untuk menginjakkan kaki di puncak merapi, melainkan adalah Suci. Dengan
perjuangan yang tak kenal lelah, semangat bermental baja, motivasi tinggi,
tekad yang benar-benar bulat, sampailah kita semua di puncak tertinggi gunung
merapi dengan dipimpin secara langsung oleh Suci. Tak melepaskan tangan dan
tetap terus bergandengan itulah yang kami berempat lakukan sebagai bukti bahwa
persahabatan kita akan selalu diperjuangkan dengan segala macam cara.
Persahabatan adalah segalanya, jauh diatas nama apapun. Sahabat ... !!!
Satu lagi keberhasilan yang dapat kami ukir bersama atas nama
persahabatan, namun jauh lebih bermakna daripada itu semua adalah hal yang kita
lakukan kali ini bukanlah untuk menaklukan puncak tertinggi merapi tetapi kita
semua belajar untuk saling mengerti, saling berbagi, saling toleransi, saling
mengasihi, karena kita harus menaklukan diri kita sendiri dari serangan
penyakit egoisme. Kita harus selalu mengingat fitrah kita sebagai anak manusia,
makhluk sosial !!! Petualangan hebat bersama kawan-kawan terhebat !!! Salam ...
!!!
women ranger |
me |
see the crater |
beautiful |
team |
sea of clouds |
cool |
no need to be arrogant |
stones |
hasil dari perjuangan |
Epiog (saduran novel 2)
Saya bermimpi besar, dan saya mempercayainya, melakukan penciptaan
imajinasi yang luar biasa sebagai seorang manusia. Hidup dengan impian yang
bermakna, tetapi sedikit pun saya tidak bekerja keras untuk impian saya. Saya
hanyalah pembual nomor satu bagi diri saya sendiri.
Saya bekerja keras, setiap hari dengan peluh, luka dan lelah yang
terus ada, tetapi tanpa imipian yang membakar setiap langkah saya, nafas dan
penglihatan saya ... bergerak lelah, berkeringat tanpa makna..., saya hanyalah
pembual nomor satu bagi dunia.
Nafas terus berpacu didalam tubuh juang Yassinta Aulia, Febrina
Suci Wulandari dan Giananda Saktika Nugraha, kembali seraut wajah tertunduk
melihat kebawahnya, langkah kaki yang semakin cepat dan semakin cepat, di atas
jalur pendakian, peluh yang terus membanjiri tubuhnya.
Karena segala sesuatu ...
... diciptakan
2
Kali ...
Dalam dunia imajinasi dan dalam dunia nyata.
Dengan kerja keras, tinggalkan bukti di dunia nyata bahwa impianmu,
ada. Bersama alam bawah sadarmu kamu bermimpi, bersama alam sadarmu kamu
berjuang.
Karena manusia bisa, ia ada untuk bisa.
Karena tidak ada sangkal dan bukan tanpa alasan berabad-abad lewat.
Impian dan kerja keras menjadi kenyataan. Terlahir dari manusia ... makhluk
Tuhan dengan segala keterbatasannya, makhluk Tuhan dengan hidupnya yang tidak
pernah sempurna.
Karena berabad lewat semenjak ia ada di muka bumi ini manusia bisa;
manusia melakukannya. Percaya bahwa sesuatu yang tidak mungkin adalah mungkin, manusia
bisa, membuat sesuatu yang luar biasa terjadi, kalau manusia tidak
mempercayainya, apa yang ia temukan sebagai seorang manusia? Pertanyaannya yang
lebih besar lagi, apakah kita benar-benar seorang manusia?
Pun berabad-abad tak ada yang menyangkal, manusia meninggalkan
bukti di dunia nyata atas impian dan kerja kerasnya menjadi inspirasi untuk
manusia lain.
Bahwa keajaiban itu ada.
Datang di dunia imajinasi bersama pikiran, impian yang bahkan lebih
hebat dari ilmu pengetahuan, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
Datang di dunia nyata bersama perjuangan dan kerja keras manusia
... certamen ergo sum. Aku berjuang maka aku ada.
Manusia layaknya percaya ia hidup karenanya, ia adauntuk
percaya bahwa ia bisa melakukan sesuatu yang luar biasa untuk dirinya. Bahwa
dibalik keterbatasan dan ketidaksempurnaan hidup, setiap diri ini adalah
kekuatan yang tidak pernah sedikit pun diremehkan oleh Sang Pencipta.
Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang anak manusia, karena
Tuhan tak pernah sedikitpun.
Segala sesuatu diciptakan 2 kali.
Yassinta Aulia, Febrina Suci Wulandari dan Giananda Saktika Nugraha
tertunduk untuk melihat tubuh kumalnya. Malam tadi, pagi tadi, berjuang dengan
sekeras tenaga atas nama persahabatan. Siang ini mereka benar-benar menguatkan
perjuangannya.
Manusia dengan hidup yang tidak sempurna itu terus mendaki, dan
mendaki hingga tertegun menatap langit biru siang ini di atasnya. Pelan mereka
meresapi bening juang yang menumpuk di sudut matanya. Ya ... Keindahan adalah
untuk dirasakan.Seperti hidup yang tidak sempurna. Kamu janji ... kamu tidak
akan pernah menyerah.
Cintai impianmu
Cintai kerja kerasmu
Cintai hidupmu dengan berani, jangan menyerah dan jangan pernah
berputus asa.
keren banget gan foto2 nya...
BalasHapuspengen juga ngrasain merapi nih...
BalasHapusmerapi oh merapi, kapan aku bisa menemuimu...
BalasHapusayolah gan ... coba ke merapi hehe.. mantap !!!
BalasHapusperjalanannya seru, fotonya keren...jadi pengen ke merapi lagi nih kk
BalasHapusNice story. good job for have that journey.
BalasHapusit was my dream, climb with him. But it can't be now.