“Guru yang tak tahan kritik
boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan
murid bukan kerbau.” (Soe Hok Gie)
Sebuah kutipan argumentasi dari
catatan seorang demonstran (era 60an) yang terkenal dengan idealisme nya yang
kritis, kritis melawan kemunafikan, kritis melawan ketidakadilan, dan kritis melawan
penindasan pada masanya. Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, salah seorang sosok yang menginspirasi saya, seorang
kakak yang tak pernah bertemu secara nyata, tapi selalu bertemu dalam catatan
tak bernyawa.
Bukan tanpa alasan Soe Hok Gie
berbicara demikian waktu itu ia merasa ada sesuatu yang salah terhadap gurunya.
Kala itu banyak guru yang merasa paling jago, merasa guru paling pintar. Sama
halnya seperti Gie, saya menulis catatan ini bukan tanpa alasan tulisan
ini adalah fase klimaks kegelisahan saya melihat kondusifitas sistem pendidikan
di sekitar kita. Betapa panasnya telinga saya ketika mendengar informasi, masih
banyak oknum tenaga pengajar dari mulai jenjang dasar, menengah, bahkan perguruan
tinggi, yang merasa dirinya ‘dewa’, dan merasa anak didik nya (siswa) adalah
‘kerbau’. Di era pendidikan modern dewasa ini guru tidak sebatas sebagai tenaga
pengajar tetapi harus menjadikan dirinya pada tingkatan pendidik. Bukan menjadi
narasumber pokok pada kegiatan belajar mengajar, hanya sebatas pada tingkatan
fasilitator. Guru harus bisa mendampingi anak didik nya dengan sepenuh hati,
setulus kasih, bagai mendidik putra-putri mereka. Mendampingi mereka, mendidik
dalam dua sisi antara mentalitas keilmuan dan keimanan. Sehingga tujuan sejati
dari profesi ini terpenuhi.